Beberapa Teori Dasar Hukum Internasional
Teori Hukum Alami
Ajaran hukum alam mempunyai pengaruh
yang besar atas hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini
yang mula-mula mempunyai ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya
dilepaskan dan hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Hukum alam
diartikan sebagai hukum ideal yang berdasarkan atas hakekat manusia sebagai
makhluk yang berakal atau kesatuan kaedah-kaedah yang diilhamkan alam pada akal
manusia
Menurut penganut-penganut ajaran
hukum alam ini hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu
tidak lain dari pada “hukum alam” yang diterapkan pada kehidupan masyarakat
bangsa-bangsa. Dengan lain perkataan negara-negara itu terikat atau tunduk pada
hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum
internasional itu merupakan bagian dan pada hukum yang lebih tinggi yaitu
“hukum alam”.
Teori Kehendak Negara
Aliran mi mendasarkan kekuatan
mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk
pada hukum internasional. Menurut mereka pada dasarnya negaralah yang merupakan
sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena negara-negara
itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini
menyadarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh
yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling terkemuka dan aliran ini adalah
George Jellineck yang terkenal dengan “Selbst-limitation-theonie”-nya.
Seorang pemuka lain dan aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum
internasional itu tidaklah lain dan pada hukum tata negara yang mengatur
hubungan luar suatu negara. Hukurn Internasional bukan suatu yang lebih tinggi
yang mempunyai kekuatan mengikat diluar kemauan negara
Kelemahan teori-teori ini adalah
bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan rnemuaskan bagaimana caranya hukum
internasional yang tergantung pada kehendak negara-negara dapat mengikat
negara-negara itu. Teiepel berusaha untuk membuktikan bahwa hukum internasional
itu mengikat bagi negara-negara, bukan karena kehendak mereka satu persatu
untuk terikat melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi
dan kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional.
Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara
tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu
dengan suatu tindakan sepihak.
Teori Madzhab Weina
Suatu norma hukumlah yang merupakan
dasar terakhir dari pada kekuatan mengikat dan pada hukum internasional.
Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama Madzhab Weina.
Menurut madzhab ini kekuatan-kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional
didasarkan suatu kaedah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula
pada suatu kaedah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Pada
puncaknya kaedah-kaedah hukum dimana terdapat kaedah dasar yang tidak dapat
lagi dikembalikan pada suatu kaedah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima
adanya sebagai suatu hypothese asal yang tidak dapat diterangkan secara hukum.
Ajaran madzhab Weina ini
mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaedah dasar, memang dapat
menerangkan secara logis dari mana kaedah-kaedah hukum internasional itu
memperoleh kekuatan mengikatnya akan tetapi ajaran ini tidak dapat menerangkan
mengapa kaedah dasar itu sendiri mengikat. Dengan demikian maka seluruh sistem
yang logis tadi menjadi tergantung-gantung di awang-awang jadinya. Sebab tak
mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum internasional itu disandarkan atas
suatu hypothese. Dengan pengakuan bahwa persoalan kaedah dasar merupakan suatu
pensoalan di luar hukum (metayunidis) yang tidak dapat diterangkan, maka
persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat dikembalikan kepada
nilai-nilai kehidupan manusia diluar hukum yakni rasa keadilan dan moral.
Teori Aliran Madzhab Perancis
Madzahab Perancis dengan
pemuka-pemukanya terutama Fauchile, scelle dan Duguit mendasarkan kekuatan
mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor-faktor
biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta-fakta
kemasyarakatan yang menjadi dasar. Menurut mereka persoalannya dapat
dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk
berabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan
naluri sosial manusia sebagai orang seorang menurut mereka juga dimiliki oleh
bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat
dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu perlu mutlak bagi dapat
terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Teori Positivisme
Pada teen mi kekuatan mengikatnya
hukum internasional pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum
internasional. Hukum internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan
berlaku karena disetujui oleh negara. Kelemahan dari teori ini adalah tidak
dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah hukurn internasional
tidak lagi mengikat, tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi
langsung terikat oleh hukum internasional, tidak dapat menjelaskan mengapa ada
hukum kebiasaan, kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpamaan), berlakunya
hukum internasional tergantung dan society of state. Sedangkan
kelebihannya Praktek-praktek negara dan hanya peraturan-peraturan yang
benar-benar ditaati yang menjadi hukum internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar