TribunMP3 | Zona Artikel dan Download Musik™

Kumpulan Artikel juga Tutorial Simpel dan Mengutamakan Kualitas juga Menyediakan Musik Gratis Untuk Didengar secara cuma-cuma

Breaking

Selasa, 26 Maret 2019

Makalah Pengertian, Sumber dan Fungsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Hukum merupakan suatu peraturan yang di buat untuk mengatur, mengikat, dan memaksa masyarakat untuk mematuhi suatu hal yang dianggap baik dan perlu oleh suatu lembaga. Hukum juga erat kaitannya dengan masyarakat. Hukum dalam islam, merupakan sebuah pedoman atau batas bagi diri untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hukum dalam islam bukanlah buatan dari makhluk-Nya seperti hukum yang ada dan berkembang selama ini di masyarakat. Melainkan hukum islam itu ada dan berdasar dari ajaran dan pedoman yang Allah SWT berikan, yaitu berupa perantara, Al-Qur’an misalnya yang merupakan pedoman tertinggi bagi umat islam di seluruh semesta ini.
1.2              Rumusan Masalah
Dari uraian diatas timbul beberapa pokok permasalahan yang berkaitan dengan hukum dalam ajaran agama islam , yaitu :
1.      Apa pengertian hukum islam ?
2.      Apa yang menjadi sumber-sumber hukum islam ?
3.      Apa fungsi dari hukum islam ?
4.      Pembagian hukum islam ?
1.3       Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi dari hukum dalam agama islam
2.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam
3.      Untuk mengetahui fungsi dari hukum islam
4.      Utuk mengetahui pembagian hukum-hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
2.2       SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
1.                  AL-QUR’AN
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
·         Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
·         Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
·         Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
·         Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
Ø  Isi Kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
·         Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
·         Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1.      Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
2.      Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih.
3.      Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
2.                  HADITS
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Artinya: “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1.      Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
2.      Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير...ِ
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.
Ø  Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.      Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.
2.      Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
3.      Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
3.                IJTIHAD
 Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.
Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1.      Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum.
2.      Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits.
3.      Mengetahui soal-soal ijma.
4.      Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولوَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
            Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Ø  Bentuk Ijtihad yang lain
1.      Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan.
2.      Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
3.      Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits.
4.      Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
5.      Al ‘Urf, ialah urusan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
6.      Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
4.                  QIYAS
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
·         Dasar (dalil)
·         Masalah yang akan diqiyaskan
·         Hukum yang terdapat pada dalil
·         Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
2.3.            Fungsi Hukum Islam
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
1.                  Fungsi Ibadah,
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2.                  Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum  (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
3.                Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian, perzinaan, qadhafhirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
4.                Fungsi Tanzhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlih at dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait.
2.4.            Pembagian Hukum Islam
1.      hukum Wadhi : sebuah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya sesuatu yang lain, hukum wadhi terbagi 3 :
Ø  Sebab : sesuatu yang mendasar dan terang dan tertentu yang menjadi pangkal adanya sesuatu.  Contoh : Adanya Hukum Potong Tangan DI karenakan Adanaya Sebab mencuri
Ø  syarat : Sesuatu yang karenya ada hukum dan ketidak adanya tidak ada hukum. Contoh : Haul Adalah Sebuah Syarat  adanya Kewajiban zakat, Syarat Terbagi dua :
.1.      Syarat Haqiqi adalah sebuah syarat yang diperintahkan syariat sebelum mengerjakan pekerjaan yang lain, dan pekerjaan yang lain tidak akan di terima atau tidak syah  jika pekerjaan yang pertama tidak dilakukan. Contohnya : Kewajiban Wudhu  Sebelum  Mengerjakan Sholat
.2.      Syarat Jali adalah segala sesuatu yang dijadikan syarat oleh perbuatanya untuk mewujudkan perbuantan yang lain. Contohnya : syarat sah wudhu ketika membasuh tangan sampai Kesiku
Ø  Man`i  adalah suatu hal yang karna adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi adanya hukum. Contohnya : adanya najis pada pakaian menjadikan Pengahalang  dari  syarat shalat.
2.      Hukum Taklif, yakni Sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat dan menentukan pilihan kepadanya  antara melakukan dan meninggalkanya. Hukum taklif terbagi menjadi 5 yaitu :
1                  Wajib 
Wajib atau sering disebut ijab merupakan khitab pernyataan Allah swt yang menuntut kita untuk melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain, perbuatan itu mempunyai status fardu atau wajib, yang berari mendapatkan pahala bila dikerjakan dan mendapatkan dosa bila ditinggalkan.
Dalam hal ini kita melihat istilah fardu dan wajib.Menurut para ahli fardu itu bila perbuatan tersebut di perintahkan kepada kita melalui dalil yang qat’i (jelas), yaitu nas Al-qur’an dan hadis mutawir. Sedangkan status wajib dikenakan apabila perbuatan itu didasarkan pada dalil yang zanni yaitu hadis ahad atau ijtihad ulama. Namun, pada pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan ini tidak lagi dipersoalkan. Karena itu tidak sedikit ulama yang menyamakan antara fardu dan wajib serta hanya memegang esensi bahwa keduanya merupakan perbuatan yang harus dikerjakan dan berdosa bila kita meninggalkannya.
Kita dapat mengenali bahwa pernyataan Allah itu merupakan perintah wajib dengan mengenali perintah-perintah itu dari bentuk kalimat yang ada pada Al qur’an dan hadis nabi. Bentuk kalimat yang paling umum digunakan dan di asumsikan sebagai perintah adalah bentuk fi’il amr (bentuk kalimat perintah). Akan tetapi, walaupun secara umum fi’il amr berarti perintah wajib, perlu diperhatikan tidak semua bentuk perintah berarti wajib.Ada juga yang menunjuk pada status sunah.
Selain bentuk fi’il amr, Kita juga dapat mengenali hukum wajib pada kalimat-kalimat Al qur’an dan hadis yang menggunakan kata fardu atau hukum wajib atau kata yang searti. Misalnya kata farada atau kutiba yang banyak pada Al qur’an , hadis, atau kata wajaba, yang biasannya merupakan hasil ijtihad para ulama atau dalil Al qur’an dan hadis.
Hukum wajib dapat dilihat dalam beberapa aspek,diantaranya sbb.
1. Dilihat dari aspek kepada siapa hukum itu di bebankankan.
·         Wajib ‘ain, Wajib ini dibebankan kepada masing-masing individu mukallaf,dimana kewajiban itu tidak boleh diserahkan kepada orang lain.Misalnya salat 5 waktu.
·         Wajib Kifai (kifayah), Kewajiban ini dibebankan kepada komunitas kaum islam. Apabila sebagian orang telah menunaikannya, maka yang lain terbebas dari beban hukum. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang tidak melaksanakannya, maka seluruh anggota komunitas itu berdosa. Misalnya ,pengurusan jenasah.
2. Dilihat dari waktu penunaian kewajiban.
·         Wajib mutlak, yang tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Misal kalau kita berutang puasa,maka kapan kita mau membayarnya tidak ditentukan waktunya. Boleh kapan saja.
·         Wajib mu’aqqad yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya dengan jelas dengan dalil-dalil agama. Misal salat 5 waktu.
3. Dilihat dari aspek junlah atau ukuran penunaian kewajiban.
·         Wajib muhaddad, Allah telah menentukan dengan jelas jumlah atau ukuran yang harus kita kerjakan.Misal jumlah rakaat salat.
·         Wajib gairu muhhaddad, Pada kewajiban ini, Allah tidak menunjukan jumlah atau ukuran yang harus kita lakukan. Misalnya jumlah infak/ sadakah.
4Dilihat dari kebolehan jenis perbuatan yang harus dilakukan.
·         Wajib mua’ayyan, Pada kewajiban ini Allah telah menetapkan jenis perbuatan yang harus di lakukan secara jelas dan pasti. Sehingga kita tidak boleh menawar atau memilih alternatif lain.Misalnya salat 5 waktu.
·         Wajib mukhayyar, Pada kewajiban ini Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memilih salah satu diantara beberapa alternatif yang ada.
2                  Sunah
Status hukum kedua dalam islam adalah sunah atau nadb.Selain menurut mukallaf untuk mengerjakan serta menghukumnya bila tidak mengerjakan, adakalanya Allah dan rasul-Nya memerintahkan suatu perbuatan,tetapi tidak harus dikerjakan bahkan ditinggalkan pun tidak apa-apa. Dengan kata lain perbuatan itu sunah atau mahdub, yang berarti kita akan mendapatkan pahala bila mengerjakannya tetapi tidak berdosa bila tidak mengerjakannya.
Namun sebagian ulama membedakan pengertian sunah dan mahdub ini. Menurut mereka sunah menunjuk pada perbuatan yang selalu dilakukan olen Rasullullah , kecuali ada uzur. Misalnya salat tahajud. Sedangkan mahdub menunjuk pada amalan yang disukai Nabi saw. Tetapi beliau jarang melakukannya. Misalnya puasa 6 hari di bulan syawal.
Kita dapat menentukan suatu perbuatan bersifat sunah dan mahdub dengan cara diantaranya ada hadis yang menggunakan yang jelas-jelas mengacu pada hukum sunnah seperti kata yusannu kaza atau yundabu kaza.
Indikator lain atau keterangan pada suatu perintah tidak selamanya berasal dari Alqur’an, adakalanya dalam hadis nabi ataupun ijtihat para ulama.
Terkait dengan sunnah, ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu:
·         Sunnah muakad, Sunnah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasullullah senantiasa melaksanakannya dalam kehidupan beliau. Walau sangat dianjurkan, kita tidak berdosa bila tidak melaksanakannya. 
·         Sunnah gairu muakad (Sunnah zaidah), Sunnah ini tidak sepenting sunnah muakad. Terhadap sunnah ini terkadang Rasullulah melaksanakannya, Kadang tidak meski tidak ada aral yang menghadang.
·         Sunnah mustahab, Sunnah ini biasa di sebut fadilah (keutamaan) karena dilaksanakan untuk menyempurnakan amal perbuatan yang kita lakukan.
3.                  Mubah
Adakalanya Allah swt memberi kebebasan kita untuk melakukan atau tidak melakuakan suatu perbuatan. Khitabini biasa disebut ibahah. Dengan kata lain, perbuatan yang terkait dengan khitab ibahah ini mempunyai status hukum mubah, atau halal atau jaiz yaitu dikerjakan atau tidak, tidak akan konsekuensi pahala atau dosa.
Pada dasarnya,segala perbuatan dalam bidang muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Prinsip ini dalam ilmu usul fikih disebut Bara’ah Asliyah (bebas menurut asalnya) dan sesuai dangan salah satu kaidah usul fikih.
Selain prinsip dasar itu, kita juga dapat mengenali perbuatan mubah ini dalam Alqur’an dengan kalimat-kalimat yang digunakan , salah satunya dengan kalimat uhilla (dihalalkan).
Satu hal yang perlu diperhatikan, walaupun pada dasarnya semua perbuatan bidang dalam bidang muamalah itu diperbolehkan sampai pada dalil yang melarangnya,bukan berarti kita kita lantas bebas berbuat dengan alasan tidak ada larangannya. Bisa jadi larangan itu ada tetapi tidak kita ketahui, maka kita menganggapnya tidak ada. Kita dapat menggunakan hati nurani kita untuk memutuskan apakah perbuatan itu baik atau tidak dan benar atau salah.
4.                  Makruh
Selain menuntut kita untuk melaksanakan perbuatan yang baik ada juga khitab Allah yang menyuruh kita untuk tidak melakukan sessuatu. Khitab ini terdiri atas karahah (makruh) dan tahrim (haram).
Allah menetapkan dua hukum tersebut karena Allah mengetahui manusia berpotensi sangat besar untuk menyimpang. Maka sebagai sayangnya Allah memberikan anjuran yang tidak ketat untuk meniggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Khitab Allah yang menghendaki kita untuk meninggalkan suatu perbuatan, walaupun tidak berdosa pula bila dikerjakan disebut karahah atau makruh. Khitab ini dapat kita kenali dalam dalil-dalil agama dengan menggunakan kalimat karraha (memakruhkan ) dan semua kata yang semakna dengannya, atau dengan khitab yang menggunakan kalimat larangan ataupun kalimat perintah yang tidak menunjukkan keharaman.
Khitab Allah di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr) yang tidak mengharamkan. Dengan demikian, walaupun menggunakan kalimat perintah untuk meninggalkan, bukan berarti jual beli itu haram.
Sebenarnya perbuatan makruh ini tidak hanya dapat dikenal melalui khitab-khitab Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi, akal dan nurani ktapun dapat juga menemukan serta mengenalinya. Dari sini makruh dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makruh tanzih,tarkul aula, dan makruh tahrim. Makruh tanzih adalah melakukan suatu perbuatan yang lebih baik ditinggalkan. Tarkul aula adalah meninggalkan sesuai yang sebaiknya dikerjakan. Sedangkan makruh tahrim dapat berupa yang dilarang dengan dasar dalil zanni atau dengan perintah larangan dengan dalil qat’I yang tidak mengharamkan secara tegas.
5.                  Haram
Hukum taklifi yang terakhir adalah tahrim atau haram. Tahrim termasuk khitab Allah yang melarang sesuatu. Hanya saja, berbeda dari karahah, larangan larangan pada tahrim ini lebih tegas dan dilengkapi sanksi bagi siapa yang melakukanya.
Diantara dalil-dalil yang mengacu pada hukum haram atau tahrim ini adakalanya menyebutkan dengan kalimat yang jelas seperti haramma atau hurimma.Seperti
Para ulama membagi haram ini dalam dua kelompok yaitu haram lizatihi dan haran ligairihi.
·         Haram lizatihi, Haram dengan dirinya sendiri yaiutu perbuatan-perbuatan yang jelas ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah sebagai haram sejak semula karena secara tegas secara tegas mengandung kemafsadatan (kerusakan)masuk dalam kelompok ini.Seperti mencuri, minum miras,dsb.
·         Haram ligairihi, Haram dengan sebab dari luar dirinya. Haram ini kadang kala disebut juga sebagai haram li ardihi. Perbuatan –perbuatan yang termasuk dalam kelompok ini sebenarnya sesuatu yang tidak haram, tetaoi kemudian menjadi haram karena sebab-sebab diluar perbuatan itu.Misalnya makan bakso tanpa bayar maka menjadi haram, padahal bakso adalah makanan yang halal.
BAB III
PENUTUP
3.1       KESIMPULAN
            Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpuln, diantaranya :
1.      Hukum islam adalah peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam
2.      Hukum islam berasal dari 4 sumber, yaitu :
Ø  Al-Qur’an
Ø  Hadits
Ø  Ijtihad
Ø  Qiyas
3.      Terdapat 4 fungsi dari hukum islam, yaitu :
Ø  Fungsi ibadah
Ø  Fungsi amar ma’ruf nahi munkar
Ø  Fungsi zawajir
Ø  Fungsi Tanzhim wa Islah al-Ummah
4.      Hukum islam terbagi menjadi 2 yaitu
Ø  Hukum wadhi
Ø  Hukum taklif
3.2       KRITIK DAN SARAN
            Dalam penulisan makalah ini kami sadar masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari teman-teman akan senang hati kami terima sehingga kami bisa menjadi lebih baik nanti nya.
DAFTAR PUSTASA

Muadz. 2011. Macam-macam Hukum.http://poltek-muadz.blogspot.com/. 09-12-2014
Setiawan, Eddy. 2012. Macam-Macam Hukum Islam.https://eddysetia.wordpress.com/2012/08/02/macam-macam-hukum-islam/. 09-12-2014
Nur Alfiah, Siti. Sumber-Sumber Hukum Islam.http://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/. 09-12-2014
Masiv, Lyla. 2013. Ijtihad dan Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat.http://lylamasiv.blogspot.com/2013/05/ijtihad-dan-fungsi-hukum-islam-dalam.html. 09-12-2014
Qiso, Abdullah. 2013. Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an dalam Islam. 09-12-2014
Rahmawati, Kiki. 2011. Kedudukan Al-Qur’an dalam Hukum Islam dan Pembagian Hukum Islam.http://kikirahmawati2111.blogspot.com/2011/08/kedudukan-al-quran-dalam-hukum-islam.html. 09-12-2014
Ansori, Irfan. 2011. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam Pertama.http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam-pertama/. 09-12-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar