Sejarah Komunikasi Politik Indonesia
Setelah Perang Dunia I, dunia mulai memberikan perhatian besar terhadap Komunikasi Politik. Ketika itu istilah political communication sendiri belum ada, namun berbagai penelitian dilakukan dalam bidang ini untuk kepentingan perang (Dahlan: 1989)2. Karena berbagai penelitian dan praktek komunikasi politik saat itu dianggap sebagai bagian dari Ilmu Politik (Political Science), Dahlan berkesimpulan bahwa akar dari komunikasi politik adalah ilmu politik. Dari sudut pandang lain, Chaffee dan Hochheimer (1985, dalam Gazali: 2004) menganggap bahwa ilmu komunikasi politik berawal dari riset-riset awal dalam wilayah komunikasi massa.3
Di tahun 1927, Harold Laswell—yang kini dikenal sebagai bapak perintis
ilmu komunikasi modern4—mengumumkan hasil penelitiannya tentang
propaganda politik dalam The American
Political Science Review. Hasil riset Laswell itu menjelaskan bagaimana
“efek” dan “pengaruh” komunikasi massa yang dilakukan lewat media (radio)
terhadap kondisi psikologis kelompok (negara) maupun individu yang terkait
dengan perang. Hasil riset itu yang menjadi dasar Laswell ‘merumuskan’ ilmu
komunikasi massa dalam konsepsi yang sangat terkenal; “who say what in which channel to whom with what effect”. Menurut
Ryfe (2001), komunikasi politik mendapatkan tempat dalam sejarah karena adanya
komitmen teoretis dan metodologis pada riset- riset awal tersebut. Komitmen
tersebut, pada gilirannya, dibentuk oleh tiga disiplin utama; psikologi sosial,
riset komunikasi massa dan ilmu politik.5
2 Dahlan, M. Alwi.
“Perkembangan Komunikasi Politik Sebagai Bidang Kajian” dalam Jurnal Ilmu
Politik, Universitas Indonesia,1989.
3 Lihat Gazali, Effendi. “Comunications of Politics
and Politics of Communication in Indonesia”. Doctoral Disertasi.
2004.
4 Penobatan Laswell sebagai perintis ilmu komunikasi
modern dimulai oleh Wilbur Schramm (1960) yang menamakan Laswell, Paul F.
Lazarsfeld dan sosio-psikologist Carl I. Hovland sebagai “perintis kajian
komunikasi
massa melalui ilmu-ilmu
sosial. Tiga pakar ini sering pula disebut oleh Schramm sebagai bapak pendiri
ilmu komunikasi bersama-sama pakar telekomunikasi Claude E. Shannon. Laswell
diakui terutama karena pemikiran mengenai peran dan fungsi komunikasi dalam
masyarakat serta model tindak komunikasi yang kerap kita sebut sebagai Model
Laswell.
5 Lihat Ryfe, David Michael. “History and Political Communication; An Introduction”. Political Communication Journal. 2001.
Lihat pula Gazali. “Communication of
Politics….”
Sebelum dan selama Perang Dunia II, riset-riset politik menjadikan opini
publik sebagai kajian utama. Tahun 1937, jurnal Public Opinion Quarterly diterbitkan khusus untuk membahas opini
publik. Riset dan teknik propaganda berkembang luar biasa karena terpicu oleh
kemenangan Jerman dalam penaklukan-penaklukannya. Jerman, dimotori oleh Menteri
Penerangan-nya Joseph Goebels, memenangkan perang-perang tersebut karena
propaganda yang dipraktekkannya mampu menjatuhkan semangat dan kepercayaan diri
lawan-lawannya.6
Keberhasilan propaganda Goebels kemudian dipelajari, dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Amerika Serikat. AS mengerahkan ilmuan-ilmuan sosialnya untuk
melakukan riset-riset tersebut. Sebut saja misalnya ilmuan seperti
sosio-psikolog Carl I. Hovland, ahli proses rumor dan pengaruhnya Gordon
Alport, ahli teori pressure group Kurt
Lewin, pakar content analysis Wilbur
Schramm dan ahli komunikasi radio Claude Shannon, mereka semua difasilitasi
oleh negara (baca; militer AS) untuk mengembangkan riset-risetnya. Laju
kemajuan teknologi radio ketika itu menambah percepatan pengembangan
teori-teori komunikasi massa/politik.
Kondisi tersebut menjadikan riset-riset komunikasi politik tidak lagi
berputar-putar pada masalah propaganda, opini publik dan tidak lagi
mengakar-dalam pada ilmu politik atau jurnalistik saja. Riset komunikasi
politik meluas ke berbagai disiplin ilmu seperti humaniora (filsafat,
linguistik, retorika), ilmu sosial dan ilmu perilaku (sosiologi, antropologi,
psikologi, ilmu politik), bahkan ilmu pasti (matematika, fisika, biologi,
neurologi).7
Walaupun demikian, tampaknya pengaruh terbesar terhadap studi komunikasi politik datang dari disiplin psikologi
sosial. Mengapa? Karena para peneliti komunikasi politik umumnya
berlatarbelakang sosio-psikolog. Empat ilmuan besar ( (Laswell, Lazarfeld,
Lewin dan Hovland) adalah para ahli psikologi-sosial. Oleh karena itulah attitudes, opinions dan beliefs yang berkaitan dengan pengaruh
media massa menjadi pembahasan utama kajian komunikasi politik kala itu.
Pasca Perang Dunia II, terutama di
era 1950-an, pengkajian komunikasi politik tidak lagi dipengaruhi banyak oleh
disiplin ilmu politik, tetapi semakin kuat dipengaruhi oleh ilmu komunikasi,
khususnya komunikasi massa. Dahlan (1989) berpendapat bahwa ada tiga hal yang
6 Goebels menghalalkan segala cara demi kesuksesan propagandanya;
manipulasi data, agitasi, provokasi yang disebarkan lewat teknologi radio
sehingga menambah semangat pasukannya sendiri dan menghancurkan mental-
psikologis lawan. Dengan teknik ini, lawan-lawan Jerman mudah ditaklukkan,
mudah menyerah.
7 Lebih jauh tentang ini,
lihat Dahlan, M. Alwi. “Perkembangan…”
menyebabkan hal
itu. Pertama adalah media, unsur yang menjadi perhatian utama komunikasi
politik, terletak pada disiplin komunikasi. Kedua, para peneliti komunikasi
politik semakin banyak yang berlatar belakang ahli komunikasi (Dan Nimmo,
William Rivers, dll) karena faktor komunikasi berperan sangat penting dalam
proses politik. Ketiga, karena sifat ilmu komunikasi yang interdisiplin
sehingga riset-riset tentang perilaku politik lebih jelas dipahami melalui
pengkajian ilmu komunikasi.
Di era Perang Dingin, praktek komunikasi politik tampaknya lebih banyak
dipengaruhi oleh “politik komunikasi”. Penguasaan terhadap media (termasuk para
penyelenggara media), terutama media internasional, dilakukan oleh dua pakta
pertahanan yang berseteru. ‘Perang informasi’ menggantikan perang fisik.
Propaganda, agitasi dan manipulasi data mewarnai isi media; bukan saja media
konvensional, tetapi bahkan dalam film.8 Dominasi AS dkk terhadap
berbagai media dunia membuat negara tersebut dapat memengaruhi banyak negara.
Kehancuran Uni Soviet tidak lepas dari pengaruh politik komunikasi tersebut.
Konsentrasi para peneliti komunikasi politik kemudian kembali pada “efek”
dan “pengaruh” komunikasi, khususnya mediated-communication.
Menurut Ryfe (2001), karena riset komunikasi politik dipengaruhi kuat oleh
disiplin psikologi sosial, komunikasi massa dan ilmu politik, muncullah
beberapa istilah yang membatasi wilayah studi komunikasi politik, yakni opinion, attitudes, beliefs, politics as a
process dan media effect. Tetapi,
kata Ryfe, itu bukan batasan yang mutlak melainkan bersifat fleksibel.9
Pasca Perang Dingin, perkembangan politik di berbagai negara mengarah
kepada sistem politik demokrasi. Kondisi ini membuat komunikasi politik semakin
‘laku’, terutama dalam mengkaji bagaimana cara menyosialisasikan program,
lembaga atau kandidat politik. Ilmuan- ilmuan Amerika Serikat memimpin
tampaknya dalam riset-riset yang berkaitan dengan hal-hal tersebut mengingat
sistem demokrasi di negara itu sudah lama diterapkan.
Sementara itu, disiplin komunikasi politik semakin ‘mengkhususkan diri’
untuk mengkaji tentang efek dan pengaruh komunikasi dalam politik. Para ilmuan
di bidang yang ‘baru’ ini,
8 Dalam makalahnya di Universitas Indonesia, Djafar Assegaf menggambarkan
bagaimana perebutan pengaruh terhadap media massa yang dilakukan oleh kelompok
NATO, Pakta Warsawa dan negara-negara non-blok. Lebih jauh tentang pengaruh
media dalam politik, lihat Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert. “Media Now; Understanding Media, Culture and
Technology”. Wadsworth. 2006. Hal: 418-420.
9 Patut
diingat bahwa komunikasi politik itu interdisipliner, sehingga
pembatasan-pembatasan yang coba dilakukan tidak akan dapat bersifat mutlak.
semisal
Denton dan Woodward (1990), McNair (1995), Chaffee (2001), mencoba
mendefinisikan komunikasi politik. Bermacam batasan dan state of the art komunikasi politik mereka ajukan. Yang paling
mutakhir adalah state of the art dari
Graber & Graber (2005) yang menyatakan komunikasi politik mencakup “the construction, sending, receiving and
processing of messages that potentially have a significant direct or indirect
impact on politics”.
Karena attitudes, beliefs dan opinions juga dikaji secara mendalam
oleh disiplin ilmu marketing, belakangan ini muncul pula area kajian dalam
komunikasi politik yang ‘berjudul’ Political
Marketing. Dalam wilayah political
marketing, aspek yang dibahas secara khusus adalah bagaimana ‘menjual’
produk politik (kebijakan, partai, kandidat) agar ‘laku’ di masyarakat.10
Walaupun demikian, riset-riset komunikasi politik sekarang masih tetap
dipengaruhi kuat oleh tiga elemen utamanya; psikologi sosial, komunikasi massa
dan ilmu politik. Hampir dalam setiap penelitian, pembahasan tentang konteks
psikologis masyarakat (budaya, dll), media massa dan sistem politik yang
berlaku, senantiasa mewarnai studi-studi tersebut.
Menurut Gazali (2004), komunikasi politik di era modern ini
utamanya membahas tentang mediated
political communication. Oleh karena itu, studi-studi tentang konstruksi
realitas media (media reality
construction) semakin menarik dan penting; termasuk analisis agenda- setting dan interaksi dalam redaksi.
Semua itu adalah bagian dari apa yang disebut oleh Chaffee (2001) sebagai
“communications of politics”. Bagian lain yang tak dapat dipisahkan dari
komunikasi politik, menurut Chaffee, adalah “politics of communications” yang
perlu lebih banyak dikaji. Berdasarkan itu, Gazali (2004) kemudian merumuskan
sebuah “Model of the Political Communication Field” seperti yang tampak pada
bagan di bawah ini.
10 Beberapa buku telah diterbitkan khusus membahas marketing politik,
seperti (1) Newman, Bruce I. “The Mass
Marketing of Politics”. SAGE. 1999; (2) Newman, Bruce. I (ed). “The Handbook of Political Marketing”.
SAGE. 1999; (3) Lilleker, Darren G & Lees-Marshment, Jennifer (eds). “Political Marketing; A Comparative
Perspective”. Manchester. 2005.
A
comprehensive Model of Political Communication Field
Based on the
Indonesian contexts (Effendi Gazali, 2004)
Blue : Traditional
focuses (communication of politics), Black : New focuses (mostly non-mediated
activities) Red : New focuses (politics of communication)
Sumber: Gazali,
Effendi. “Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia.
Berdasarkan bagan di atas, tampaknya kajian komunikasi politik akan
mengarah seperti ekspektasi Chaffee, yakni riset-riset dalam bagian “politics
of communications”. (Dalam bagan di atas, dicetak merah—red). Sedangkan dalam
bagian “communications of politics”,
kajian- kajian di masa akan datang akan lebih dipengaruhi oleh unsur psikologi
sosial ketimbang komunikasi massa, sebab komunikasi yang non-mediated semakin mendapat perhatian.(Dicetak hitam)
Sementara McLeod (2001) berpendapat bahwa riset-riset komunikasi politik
ke depan mestinya lebih banyak berkutat pada problem-problem yang selalu
berulang selama ini. Problem- problem tersebut adalah; kurangnya data yang
representatif, metodologi pengukuran, perdebatan tentang efek media, serta
riset-riset yang populer.11
Komunikasi Politik Indonesia
Perkembangan komunikasi politik di Indonesia, sebelum tumbangnya rejim Soeharto, lebih banyak pada tataran praktis. Riset-riset yang berkaitan dengan komunikasi politik sangat
11
McLeod, Jack.
M, “Steven Chaffee and the Future of
Political Communication”. Political
Communicaton Journal. 2001. Riset-riset populer yang dimaksud McLeod adalah
yang berupa kampanye pemilu, debat, tim sukses, dll.
sedikit. Itu
terjadi karena sistem politik Indonesia sejak jaman Soekarno sampai 1998 tidak
memungkinkan hidupnya riset-riset politik maupun komunikasi politik yang ilmiah
karena dianggap merugikan penguasa.12
Praktek komunikasi politik sebetulnya sudah dilakukan oleh para aktor
politik. Presiden Sukarno, misalnya, senantiasa mempraktekkan komunikasi
politik setiap hari dengan tujuan
untuk menciptakan dan menjaga citranya sebagai pemimpin terbaik. Slogan-slogan
seperti “Pemimpin Besar Revolusi”, “Ganyang Malaysia”, “Nasakom” dll digaungkan
untuk memelihara popularitas Bung Karno. Bahkan tidak sedikit analisis-analisis
yang bersifat mistik, klenik dan supranatural beredar dalam diskusi-diskusi di
masyarakat yang selalu berkesimpulan bahwa Sukarno adalah pemimpin sakti mandraguna.
Praktek komunikasi politik itu terus dijalankan Bung Karno. Kemampuan
menulis dan teknik orasinya yang mumpuni menjadi modalnya. Hampir tidak ada satu
pun di antara elit Indonesia yang menyamai kemampuan Bung Karno dalam politik
pencitraan itu. Mohammad Hatta, sang Wakil Presiden, pun tidak dapat berbicara
sebaik Bung Karno.
Citra Bung Karno yang mengagumkan itu menemukan antiklimaksnya ketika terjadi
G- 30-S/PKI. Sejak itu, berbagai kalangan mulai mengungkapkan keraguannya
secara terbuka mengenai kemampuan Sukarno sebagai presiden. Pidato-pidato
Sukarno yang meledak-ledak tidak lagi memiliki pengaruh kuat ketika opini
penyeimbang dari elit lain—termasuk mahasiswa—turut memengaruhi pendapat
rakyat. Keadaan bangsa yang sedang kesulitan ekonomi menjadikan citra Sukarno
semakin menurun.
Sementara partai-partai politik juga melakukan komunikasi politik dengan
mendirikan media-media cetak. Berbagai surat kabar terbit dengan secara
terang-terangan menjadi partisan dari partai-partai. Partai Komunis Indonesia
(PKI), seperti juga partai komunis di negara lain, membentuk biro yang disebut
Agitprop (Agitasi dan Propaganda). 13
12 Sejak masa Revolusi 1945 hingga Reformasi 1998 (kecuali 1950-1957)
politik Indonesia benar-benar jauh dari demokrasi, khususnya dalam pemilihan
presiden. Alam demokrasi liberal yang pernah terjadi di Indonesia dalam kurun
tersebut hanyalah pada Pemilu 1955. Itu pun hanya untuk memilih anggota
parlemen (konstituante), bukan memilih presiden. Lembaga kepresidenan terlanjur
disakralkan sehingga dengan mudah digenggam oleh satu orang saja. Untuk lebih
jelasnya, lihat Feith, Herbert. “The
Decline of Constitutional Democracy in Indonesia”. Cornell. 1962.
13 Pada masa dimana pers relatif bebas (1950-1957), media-media cetak umumnya dimiliki
oleh partai politik
(kecuali suratkabar
Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis yang cukup independen). Ketika Demokrasi
Terpimpin dicanangkan Presiden Sukarno,
semua media cetak harus memiliki surat izin terbit. Demikian
pula di zaman Orde
Di jaman pemerintahan Soeharto, praktek komunikasi politik terus
dilakukan oleh berbagai partai politik, terutama dalam masa kampanye. Para
aktor politik Indonesia belajar dari praktek komunikasi politik di luar negeri,
misalnya dalam hal perencanaan dan pelaksanaan kampanye, penciptaan lambang dan
manipulasinya, serta teknik retorika.
Di masa Orde Baru, Suharto menjalankan komunikasi politik yang sangat
berbeda dengan Sukarno. Harto tidak sesering Bung Karno tampil ke publik. Kalau
pun tampil, dia berpidato dengan sangat hati-hati, lebih sering pakai naskah
ketimbang bicara spontan. Harto memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap
kepemimpinan sebelumnya. Isu “bahaya laten komunis” dan “melaksanakan Pancasila
dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen” memperkuat citra Suharto. Dia
‘menciptakan’ musuh bersama seluruh rakyat;
komunisme.
Meski jarang tampil blak-blakan di publik, Suharto dan orang-orangnya
memanfaatkan jutaan orang sebagai opinion
leaders. Jutaan orang itu kebanyakan datang dari ABRI, Birokrasi dan Golkar
(ABG) serta didukung oleh kalangan pengusaha. Sementara pers dan orang-orang
kritis dibungkam sedemikian rupa (metode punishment
and rewards) untuk ‘membantu’ Suharto dan ABG-nya. Hasilnya, Suharto
menjadi pemimpin yang citranya mengagumkan dan sangat kuat.
Di masa Suharto, komunikasi politik juga
dipraktekkan oleh tiga partai politik yang ada—termasuk Golkar
yang enggan disebut
sebagai Partai Politik.
Isu yang digunakan oleh Golkar,
contohnya, adalah bahwa “Golkar yang menjalankan pembangunan” dan “pembangunan
lebih penting daripada (partai) politik”
karena “(partai) politik
itu penuh kebohongan”. Sementara PPP mengambil ‘pasar’
kalangan Islam tradisional: “PPP adalah Partai
Islam dan karenanya memilih
Partai Islam akan dapat pahala”.
PDI mengambil basis massa ‘wong
cilik’, yaitu mereka yang terpinggirkan—atau tidak mengecap, atau tidak puas—dengan pembangunan. Walaupun para prakteknya, komunikasi politik tetap dijalankan oleh para aktor politik
Orde Baru,
keilmuan di bidang ini tetap tidak berkembang. Menurut Alwi Dahlan (1989), itu
terjadi karena ilmu komunikasi politik masih dianggap tidak perlu ditelaah
secara utuh. Kalau pun diajarkan, mata kuliah di bidang ini tidak dapat memberikan pemahaman yang memadai
Baru dimana pemerintahan Suharto menerbitkan
berbagai aturan yang mengebiri masyarakat mengungkapkan pendapatnya yang
dianggap merugikan pemerintah. Lebih lanjut tentang ini, lihat Gazali (2004;
hal. 4-5).
mengenai proses
komunikasi politik. Sementara jurusan komunikasi di berbagai universitas juga
tidak mendalami komunikasi politik secara khusus. Para ilmuan komunikasi pun
enggan melakukan penelitian yang berkaitan dengan politik, kecuali yang
bersifat deskriptif atau normatif, umpamanya mengenai Pers Pancasila, Tata
Informasi Dunia Baru, dll.
Penelitian komunikasi/opini publik di jaman Orde Baru dapat dikatakan
tidak ada, demikian juga dengan pengembangan metodologinya. Peristiwa Suburi
pada tahun 197214 dan juga Kasus Monitor-Arswendo membuat para
peneliti yang berminat dalam survey/jajak pendapat mengalihkan penelitian dan
perhatiannya kepada hal-hal yang tidak bersentuhan dengan politik dalam negeri.
Dalam kurun waktu 1984-1998 hanya ada 55 penelitian yang berkaitan dengan
komunikasi politik. Itu pun lebih banyak yang membahas tentang komunikasi
politik luar negeri, bukan politik dalam negeri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebelum Reformasi, pada tataran
praktis, komunikasi politik diterapkan oleh berbagai aktor politik. Hanya saja,
titik beratnya adalah pada politics of
communication dimana para aktor politik dalam posisi yang terlampau dominan
terhadap media maupun terhadap publik.
Reformasi 1998 membuka babak baru dalam praktek komunikasi politik di
Indonesia. Kemerdekaan berpendapat dan demokrasi menjadi landasan bagi setiap
orang untuk menyuarakan idenya, termasuk dalam bidang politik. Pengolahan
citra, persuasi dan retorika politik dilakukan dengan cukup baik oleh para
aktor politik untuk memperoleh simpati rakyat.
Ketika sistem pemilihan presiden RI pertama kali dilakukan secara
langsung, 2004, komunikasi politik semakin dianggap penting, terutama pada
kajian political marketing. Sebab,
presiden murni dipilih oleh popular vote.
Menyadari hal ini, beberapa calon presiden bahkan sengaja mendatangkan
ahli-ahli political marketing dari
luar negeri sebagai konsultan politiknya demi pemenangan Pilpres.
Sementara itu, gairah untuk melakukan
riset opini publik juga membludak. Sejumlah lembaga survey bermunculan, seperti
LSI, LP3ES, dll. Koran-koran seperti Kompas, Media Indonesia, dll juga rajin
menyelenggarakan jajak pendapat umum. Dalam kurun waktu 1998-
14 Menjelang Pemilu 1972, PT Suburi melakukan jajak pendapat yang salah
satu pertanyaan dalam kuesionernya adalah siapa tokoh politik yang Anda sukai
(diranking)? Presiden Suharto adalah salah satu dari sembilan nama yang tersedia dalam opsi jawaban. Survey
ini dianggap subversif oleh pihak keamanan karena memuat hal yang dianggap
‘sensitif’. Akibatnya PT Suburi dilarang beroperasi di Indonesia.
2004 saja, sudah
96 riset dilakukan yang berkaitan dengan komunikasi politik di Indoensia.
Seiring dengan semakin banyaknya penelitian akademik di bidang komunikasi
politik, Universitas Indonesia membuka program studi pascasarjana Manajemen
Komunikasi Politik. Inilah program studi pertama di negara ini yang khusus
memelajari komunikasi politik.
Masa Depan Komunikasi Politik Indonesia
Tampaknya riset dan praktek komunikasi politik di Indonesia akan
mengikuti trend di Amerika Serikat. Sebab, sistem politik-demokrasi Indonesia
semakin mirip dengan sistem politik AS.15 Dalam kondisi seperti ini,
ilmu komunikasi politik di Indonesia akan semakin dipengaruhi pula oleh
Amerika, baik sebagai kajian maupun dalam praktek sehari-hari. Apalagi
literatur- literatur utama yang dipelajari oleh para ilmuan komunikasi politik
Indonesia, kebanyakan berasal dari USA tetapi alangkah bijaknya para ilmuan
komunikasi politik di Indonesia sanggup dan mampu melakukan filter apakah
memang literatur-literatur tersebut cocok dan pas diterapkan di Indonesia dengan kondisi sosial
masyarakat yang berbeda.
Pada tataran praktis, political
behavior masyarakat Indonesia juga semakin dipengaruhi oleh budaya
konsumerisme, selebritas dan sinisme. Lagi-lagi mengikuti trend yang terjadi di
Amerika dan beberapa negara Eropa.16 Salah satu buktinya adalah
Hasil survey LSI (2004) yang berkesimpulan bahwa variabel leadership yang kini lebih memengaruhi masyarakat dalam menentukan
pilihannya, sedangkan faktor agama memiliki pengaruh kecil, bahkan tidak
penting. (Muzani, 2005). Hasil tersebut jauh berbeda dengan penelitian Affan
Gaffar (1992) yang berkesimpulan bahwa politik aliran (agama) berpengaruh kuat
dalam menentukan pilihan politik. Artinya, telah terjadi perubahan dari budaya
yang dipengaruhi oleh kelompok/lingkungan ke budaya yang dipengaruhi oleh citra
kepemimpinan. Citra kepemimpinan itulah yang dinilai berdasarkan konsumerisme,
selebritas dan sinisme para pemilih.
Fenomena-fenomena di atas akan menggiring studi komunikasi politik kepada dua kajian utama; politics of communication dan non-mediated activities. Kajian-kajian komunikasi politik Indonesia ke depan, tampaknya akan lebih banyak menggunakan metodologi kuantitatif-
15 Sebagian kalangan menilai Indonesia bahkan lebih
demokratis daripada Amerika.
16 Lebih jauh tentang consumerism, celebrity and cynicism, lihat Corner & Pells,
Media and The Restyling of Politics, SAGE, 2003.
positivistik untuk mengukur “efek”
dan “pengaruh” suatu pesan politik terhadap masyarakat, baik pesan yang mediated maupun yang non-mediated. Kalau pun ada studi-studi
kualitatif, maka studi-studi tersebut akan berkisar pada kajian tentang politik
dan penguasaan terhadap isi media, kampanye, content analysis, dan media effect.
Daftar
Pustaka:
Corner, John & Pells, Dick. “Media and The Restyling of Politics”,
SAGE, 2003.
Dahlan, M. Alwi. “Perkembangan Komunikasi Politik Sebagai
Bidang Kajian” dalam Jurnal Ilmu Politik, Universitas Indonesia,1989
Feith, Herbert. “The
Decline of Constitutional Democracy in Indonesia”. Cornell. 1962.
Gazali, Effendi. “Comunications of Politics and Politics of Communication in Indonesia”.
Doctoral
Thesis. 2004
McLeod, Jack. M, “Steven Chaffee and the Future of Political
Communication”. Political
Communicaton Journal. 2001.
Ryfe, David Michael. “History and Political Communication; An
Introduction”. Political
Communication Journal. 2001.
Straubhaar, Joseph dan
LaRose, Robert. “Media Now; Understanding
Media, Culture and Technology”. Wadsworth. 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar