Teori Komunikasi Massa
Komunikasi Massa adalah proses dimana seorang atau sekelompok
orang atau organisasi yang besar menyusun sebuah pesan dan mengirimkannya
melalui beragam media kepada khalayak luas yang anonim dan heterogen. Kehadiran
media komunikasi modern sebagai dampak makin berkembangnya teknologi informasi
dan komunikasi cenderung mengaburkan batasan antara komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal
tradisional dan komunikasi massa.
Misalnya
seorang yang memiliki perangkat komputer dan keterampilan mengoperasikan
komputer dapat mempublikasikan majalah sendiri. Hal ini menjadi pertanyaan para
peneliti apakah berbagai bentuk komunikasi baru tersebut dapat dikategorikan ke
dalam komunikasi massa.
Para
peneliti telah mengkaji media dan komunikasi selama lebih dari seabad. Terdapat
tiga paradigma dimana media menjadi kajian utama dalam penelitian komunikasi
massa:
·
Paradigma
pertama adalah paradigma kekuatan efek media yang melihat kuatnya pengaruh
media terhadap khalayak massa.
·
Paradigma
kedua adalah paradigma efek terbatas atau efek minimalis media terhadap
khalayak massa.
·
Paradigma ketiga,
paradigma efek kumulatif media terhadap khalayak massa (Littlejohn dan Foss,
2009 : 623 – 624).
Terdapat
beberapa teori komunikasi yang secara spesifik menitikberatkan pada
komunikasi massa dan beberapa teori lainnya yang digunakan untuk meneliti media
massa. Sebagian besar teori yang digunakan berkembang diluar bidang studi
komunikasi yang kemudian diaplikasikan ke dalam studi media oleh para peneliti.
Littlejohn dan Foss dalam
bukunya Encyclopedia of Communication Theory (2009) membagi
teori komunikasi massa ke dalam tiga kategori, yaitu teori-teori yang berkaitan
dengan budaya dan masyarakat, teori-teori yang berkaitan dengan pengaruh dan
persuasi media, dan teori-teori yang berkaitan dengan penggunaan media. Selain
teori-teori yang menekankan pada proses dampak media massa dan khalayak massa,
beberapa teori komunikasi massa juga menitikberatkan pada isi pesan media serta
struktur dan penampilan media massa.
Berikut
adalah beberapa teori komunikasi massa beserta penjelasannya.
1.
Teori Pengaturan Agenda (Agenda Setting Theory)
Teori
pengaturan agenda merupakan salah satu teori yang menjelaskan efek kumulatif
media. Beberapa tokoh yang merumuskan teori ini adalah Bernard Cohen, Maxwell
McCombs, dan Donald Shaw. Teori pengaturan media menggambarkan
kekuatan pengaruh media. Inti dari teori pengaturan media adalah pembentukan
kepedulian dan perhatian publik terhadap beberapa isu yang ditampilkan oleh
media berita.
Terdapat
dua asumsi dasar yang mendasari sebagian besar penelitian mengenai pengaturan
media yaitu bahwa pers dan media tidak merefleksikan kenyataan yang sebenarnya
setelah dilakukan penyaringan, dan konsentrasi media terhadap beberapa isu dan
subyek mengajak publik untuk menerima isu tersebut lebih penting daripada isu
lainnya.
2.
Teori Sistem Ketergantungan Media (Media Systems Dependency Theory atau Dependency
Theory)
Teori
ini menyatakan bahwa media bergantung pada konteks sosial dan pertama kali
dirumuskan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur (1976).
Mereka memandang bahwa bertemunya media dengan khalayak didasarkan atas tiga
perspektif, yaitu perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial,
dan perspektif hubungan sosial (Rakhmat, 2001 : 203)
Asumsi
teori ini memandang bahwa dependensi relatif khalayak terhadap sumber media
massa jika dibandingkan dengan sumber informasi lainnya merupakan suatu
variabel yang harus ditentukan secara empiris. Semakin besar kadar dependensi
khalayak terhadap media massa dilihat dari segi perolehan informasi dan semakin
tinggi kadar kritis serta ketidakstabilan masyarakat, maka akan semakin besar
pula kekuasaan yang dapat dimiliki oleh media (atau kekuasaan yang dikaitkan
dengan peranannya) (McQuail, 1987 : 84-85).
3.
Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory)
Teori
yang diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann (1974)
menggambarkan hubungan efek media terhadap pembentukan opini publik dan pola
perilaku demokratis. Frasa “spiral of silence” mengacu pada bagaimana
orang-orang yang cenderung untuk tetap diam ketika mereka merasa pandangannya
merupakan minoritas. Setiap individu yang melihat opininya sendiri diterima
akan mengekspresikannya.
Sementara
itu, mereka yang berpikir dirinya sebagai minoritas akan menekan pandangannya.
Para innovator dan agen perubahan tidak takut dalam menyuarakan pendapat yang
berbeda sebagaimana mereka tidak takut terhadap isolasi.
4.
Teori Kesenjangan Pengetahuan (Knowledge Gap Theory)
Teori
ini pertama kali dikenalkan oleh Phillip Tichenor, George
Donohue, dan Clarice Olien. Teori ini menyatakan bahwa
bertambahnya jumlah informasi mengenai suatu topik mengakibatkan bertambahnya
pula kesenjangan pengetahuan antara mereka yang mengetahui lebih banyak dan
mereka yang mengetahui lebih sedikit.
Teori
kesenjangan pengetahuan dapat membantu menjelaskan berbagai penelitian yang
menitikberatkan pada opini publik. Kesenjangan pengetahuan dapat menghasilkan
bertambahnya kesenjangan antara orang-orang yang memiliki status sosioekonomi
yang rendah dan orang-orang yang memiliki startus sosioekonomi yang tinggi.
Kemudian,
memperbaiki kehidupan orang-orang dengan informasi melalui media massa tidak
selalu berjalan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan karena menemui
berbagai hambatan-hambatan komunikasi. Media massa mungkin saja
memberikan efek memperbesar perbedaan kesenjangan diantara anggota kelas
sosial.
Terdapat
lima alasan untuk menjustifikasi terjadinya kesenjangan pengetahuan sebagaimana
yang diutarakan oleh Tichenor, Donohue, dan Olien (1970) yaitu bahwa
orang-orang dengan tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi :
·
Memiliki
keterampilan komunikasi, pendidikan, kemampuan membaca, kemampuan mengingat
informasi yang lebih baik.
·
Dapat
menyimpan informasi secara lebih mudah atau mengingat topik berdasarkan latar
belakang pengetahuan.
·
Memiliki
konteks sosial yang lebih relevan.
·
Lebih
baik dalam melakukan terpaan selektif, penerimaan, dan retensi.
·
Lebih
mudah menjangkau media massa.
5.
Teori Imperialisme Budaya (Cultural Imperialism Theory)
Denis
McQuail dalam
bukunya Teori Komunikasi Massa (1987 : 99 -100), teori ini
berasal dari teori sekaligus bukti awal mengenai peran media dalam pembangunan
nasional. Teori ini berpandangan bahwa media dapat membantu modernisasi dengan
memperkenalkan nilai-nilai barat dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai
tradisional dan hilangnya keaslian budaya lokal.
Secara
sederhana dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah
nilai-nilai kapitalisme dan karenanya proses imperialistis serta dilakukan
secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan Negara yang
sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang
lebih dominan.
6.
Teori Studi Kultural Kritis (Critical Cultural Studies Theories)
Teori
ini menitikberatkan pada peran sosial media massa dan bagaimana media dapat
digunakan untuk mendefinisikan hubungan kekuasaan diantara beragam subkultur
dan menjaga status quo. Para ahli meneliti bagaimana media berhubungan dengan
berbagai masalah seperti ideologi, ras, kelas sosial, dan gender.
Kemudian,
media tidak hanya dilihat sebagai sebuah refleksi budaya tapi juga
sebagai produser budaya mereka sendiri. Penekanannya adalah pada bagaimana
struktur sosial dan politik mempengaruhi komunikasi bermedia dan bagaimana
dampak hubungan kekuasaan dalam menjaga atau mendukung kekuasaan tersebut dalam
masyarakat.
7.
Teori Sosial Kognitif (Social Cognitive Theory)
Teori
sosial kognitif dibangun pertama kali oleh seorang psikolog Albert
Bandura sekitar tahun 1960an.
Teori
ini menitikberatkan pada bagaimana dan mengapa orang-orang cenderung untuk
meniru apa yang dilihat melalui media. Ini adalah teori yang fokus pada
kapasitas kita untuk belajar dengan mengalaminya secara langsung.
Proses
belajar melalui pengamatan ini bergantung pada sejumlah faktor, yaitu kemampuan
subyek untuk memahami dan mengingat apa yang ia lihat, mengidentifikasi
karakter bermedia, dan berbagai hal yang membimbing kepada proses pemodelan
perilaku. Teori sosial kognitif adalah salah satu teori yang paling sering
digunakan untuk meneliti media dan komunikasi massa.
8.
Teori Pengembangan (Cultivation Theory)
Teori
pengembangan adalah suatu pendekatan yang dibangun oleh Profesor George
Gerbner. Ia memulai proyek penelitian mengenai indikator-indikator budaya
pada pertengahan tahun 1960an. Penelitian ini untuk mengkaji apakah dan
bagaimana menonton televisi dapat mempengaruhi ide atau gagasan pemirsa
mengenai dunia.
Berdasarkan
pendapat para peneliti, televisi adalah pendongeng utama di dalam masyarakat
masa kini. Selain itu, televisi juga telah menjadi sumber utama sosialisasi
bagi masyarakat. Televisi juga menampilkan sebuah mainstream atau pandangan
yang seragam mengenai dunia saat ini.
Selain
itu, terdapat beberapa tema yang secara konsisten diangkat ke layar televisi
yaitu kekerasaan, peran gender secara stereotype, dan berbagai macam program
virtual lainnya. Semakin sering seseorang menonton televisi maka akan ia akan
semakin percaya bahwa bahwa kenyataan yang ada dalam tayangan televisi sama
dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan nyata. Karenanya, pemirsa kelas berat
akan merasa bahwa dunia tempat ia tinggal adalah tempat yang paling berbahaya.
9.
Teori Jarum Hipodermik (Hypodermic Needle Theory)
Teori
jarum hipodermik disebut juga dengan Magic Bullet atau Stimulus Response
Theory. Menurut teori ini, media massa memiliki dampak yang sifatnya langsung,
segera serta kuat terhadap khalayak massa. Media massa pada kurun waktu 1940an
hingga 1950an digambarkan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perubahan
perilaku.
Beberapa
faktor yang memberikan kontribusi terhadap teori kuatnya dampak media massa
adalah berkembangnya popularitas radio serta televisi yang begitu cepat,
munculnya industri-industri persuasi seperti periklanan dan propaganda, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Payne Fund pada tahun 1930an
yang menitikberatkan pada dampak motion pictures terhadap anak-anak serta
monopolisasi media massa yang dilakukan oleh Hitler selama perang dunia II
untuk menyatukan rakyat Jerman dibelakang partai Nazi.
Teori
ini mengasusmsikan bahwa media massa dapat mempengaruhi sebagian besar kelompok
orang-orang secara langsung dan seragam dengan cara membombardir mereka dengan
pesan-pesan yang sesuai yang dirancang untuk memantik respon yang diinginkan.
10.
Teori Dua Tahap (Two Step Flow Theory)
Teori
dua tahap diformulasikan oleh Paul F. Lazarfeld dan
kawan-kawan berdasarkan hasil survey terhadap pemilih. Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa hubungan sosial informal memegang peranan dalam memodifikasi
perilaku yang mana masing-masing individu memilah isi media kampanye.
Studi
ini juga mengindikasikan bahwa berbagai ide atau gagasan seringkali mengalir
dari radio dan surat kabar kepada pemuka pendapat dan dari mereka kemudian
disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kelompok sosial informal
memiliki beberapa tingkatan dalam mempengaruhi orang-orang dan cara mereka
memilah isi media dan bertindak terhadapnya.
11.
Teori Penggunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)
Teori
ini yang digagas oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael
Gurevitch muncul sebagai reaksi terhadap penelitian komunikasi massa
tradisional yang menekankan pada pengirim dan pesan. Teori penggunaan dan
kepuasaan menekankan pada khalayak yang aktif dalam menggunakan media massa.
Yang menjadi poin utama teori penggunan dan kepuasan adalah orientasi
psikologis dalam memenuhi kebutuhan, motivasi, dan kepuasan pengguna media
massa.
Asumsi
teori penggunaan dan kepuasaan adalah menjelaskan penggunaan serta fungsi media
bagi individu, kelompok, dan masyarakat secara umum. Terdapat tiga tujuan dalam
mengembangkan teori penggunaan dan kepuasan yaitu:
·
Menjelaskan
bagaimana masing-masing individu menggunakan komunikasi massa untuk memuaskan
kebutuhannya,
·
Menemukan
hal-hal yang mendasari motivasi penggunaan media dari masing-masing individu,
·
Mengidentifikasi
konsekuensi positif maupun negatif dari penggunaan media oleh masing-masing
individu.
Inti
dari teori penggunaan dan kepuasan terletak pada asumsi anggota khalayak secara
aktif mencari media massa untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
12.
Teori Media (Medium Theory)
Marshall
McLuhan dan Harold
Innis adalah dua orang peneliti yang seringkali diasosiasikan dengan
teori media. Teori media dicetus oleh Marshall McLuhan (1964) yang menyatakan
bahwa medium is the message atau media adalah pesan.
Pernyataan
ini menekankan pada bagaimana media komunikasi berbeda tidak hanya dalam
terminologi isi tetapi juga pada bagaimana mereka dibangun dan disalurkan
melalui pikiran dan rasa. Ia membedakan media dengan proses kognitif. Ide
McLuhan yang paling terkenal adalah saluran sebagai kekuatan dominan yang harus
dipahami untuk mengetahui bagaimana media mempengaruhi masyarakat dan budaya.
Teori
media menitikberatkan pada karaketristik media itu sendiri lebih dari sekedar
apa yang dikirimkan atau bagaimana suatu informasi diterima. Dalam teori media,
sebuah media tidaklah sesederhana sebuah surat kabar, internet sebagai media informasi, kamera digital dan sebagainya.
Lebih dari itu, media merupakan lingkungan simbolis dari beberapa tindakan
komunikatif.
Di
sisi lain, media sebagai bagian dari pesan apapun yang dikirimkan, memiliki
dampak bagi setiap individu dan masyarakat. Tesis McLuhan menyatakan bahwa orang-orang
beradaptasi terhadap lingkungannya melalui berbagai macam keseimbangan atau
rasio indrawi, dan media saat ini utamanya membawa sebuah rasio inderawi yang
mempengaruhi persepsi.
13.
Teori Kekayaan Media (Media Richness Theory)
Teori
yang dianggap sangat mempengaruhi teori media paling tidak untuk media baru
adalah teori kekayaan media yang dicetuskan oleh Richard Daft dan Robert
Lengel dalam sebuah artikel tahun 1986. Teori kekayaan media
didasarkan pada teori kontingensi dan teori proses informasi yang dicetuskan
oleh Galbraith (1977).
Dua
asumsi utama dari teori kekayaan media adalah orang-orang menginginkan dapat
mengatasi ketidakpastian dalam organisasi serta keberagaman media yang secara
umum digunakan dalam sebuah organisasi kerja lebih baik untuk menyelesaikan
tugas dibandingkan yang lain.
Dengan
menggunakan empat macam kriteria, Daft dan Lengel menyajikan hierarki kekayaan
media yang diawali dari tingkat kekayaan yang tinggi ke tingkat kekayaan yang
lebih rendah untuk mengilustrasikan kapasitas berbagai tipe media terhadap
proses komunikasi dalam organisasi. Kriteria tersebut adalah ketersediaan umpan
balik yang segera, kapasitas media untuk mentransmisikan berbagai petunjuk
seperti bahasa tubuh, intonasi suara dan infleksi, penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, dan fokus personal
terhadap media.
Komunikasi
tatap muka adalah media komunikasi yang paling kaya dalam sebuah hierarki
diikuti berikutnya oleh telepon, surat elektronik, surat, catatan, memo,
laporan khusus dan flyer serta bulletin. Dilihat dari perspektif strategi
manajemen, teori kekayaan media berpendapat bahwa manajer dapat melakukan
beberapa improvisasi dalam penampilan dengan menyesuaikan karakteristik media
dengan karakteristik tugas.
14.
Teori Konsistensi (Consistency Theories)
Festinger
memformulasikan teori konsistensi yang membicarakan tentang kebutuhan
orang-orang untuk konsisten terhadap keyakinan dan penilaian yang dimiliki.
Dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang dibentuk oleh inkonsistensi dalam
kepercayaan, penilaian, dan tindakan, orang akan mengekspos dirinya dengan
beragam informasi yang konsisten dengan ide dan tindakan mereka serta menutup
bentuk-bentuk komunikasi lain.
15.
Teori Difusi Inovasi (Diffusion of Innovations Theory)
Teori
yang digagas oleh Bryce Ryan dan Neil Gross (1943)
menitikberatkan pada proses dimana sebuah ide baru dikomunikasikan melalui
beragam saluran komunikasi diantara anggota suatu sistem sosial. Model ini menggambarkan
faktor-faktor yang mempengaruhi pikiran serta tindakan orang-orang serta proses
mengadopsi sebuah teknologi atau ide baru.
Model-model Komunikasi Massa Menurut Ahli
Komunikasi Massa adalah proses pengiriman pesan kepada
sejumlah besar orang yang terpisahkan secara geografis melalui media yang
berbasis teknologi (2005, 117). Dalam proses komunikasi massa, sumber atau
komunikator meng-encode sebuah pesan dan mengirimkannya kepada
penerima pesan melalui pesan-pesan verbal dan nonverbal. Pesan-pesan ini
kemudian di-encode dan dikirimkan kembali kepada sumber melalui
umpan balik. Dari gambaran di atas, tampak beberapa karakteristik komunikasi
massa
yang meliputi komunikator atau sumber yang bersifat melembaga, pesan bersifat
umum yang disampaikan melalui media massa, khalayak atau penerima pesan
bersifat heterogen, anonim dan luas. Umpan balik dalam komunikasi massa
bersifat tertunda dan tidak langsung. Untuk memahami proses komunikasi massa
yang begitu kompleks, para ahli telah merumuskan beberapa model komunikasi
massa.
Bentuk model komunikasi lainnya termasuk
model komunikasi massa tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan dan
memahami proses komunikasi dan bagaimana model komunikasi dapat diaplikasikan
ke dalam berbagai bentuk komunikasi. Kita telah membahas sebelumnya beberapa
dari model-model
komunikasi dasar
seperti model komunikasi
Aristoteles,
model komunikasi Lasswell, dan model komunikasi Berlo yang termasuk ke
dalam model komunikasi linear. Kita juga sudah pernah
membahas sekilas mengenai model komunikasi
massa yang
menggambarkan adanya pengaruh personal terhadap individu dalam proses
komunikasi massa seperti one step flow communication, two step flow
communication, dan multi step flow communication.
Berikut
disajikan beberapa model komunikasi massa dasar lainnya yang telah dirumuskan
oleh para ahli.
Model
Komunikasi Lasswell
Harold
D. Lasswell menyajikan
sebuah model komunikasi pada tahun 1948 yang tidak jauh berbeda dengan model
komunikasi Aristoteles. Model komunikasi Lasswell menggambarkan pesan yang
mengalir dalam masyarakat majemuk dengan khalayak yang beragam. Pesan mengalir
melalui sejumlah media atau saluran komunikasi.
Dalam
model komunikasi Lasswell, terdapat beberapa komponen komunikasi yaitu Who,
Says What, In What Channel, To Whom, dan With What Effect. Masing-masing
komponen komunikasi memiliki ranah penelitiannya sendiri. Misalnya untuk
meneliti komponen Who digunakan analisis kontrol, untuk
meneliti komponen Says What digunakan analisis isi, untuk
meneliti In What Channel digunakan analaisis media, untuk
meneliti to Whomdigunakan analisis khalayak, dan untuk
meneliti With What Effect digunakan analisis efek.
Model
komunikasi Lasswell telah banyak digunakan sebagai dasar penelitian yang
sebagian besar menjadi bahan diskusi tentang komunikasi. Lasswell sendiri
menggunakan model ini untuk melakukan berbagai penelitian sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Model komunikasi Lasswell kemudian dikembangkan oleh
Braddock pada tahun 1958 dengan menambahkan dua komponen yaitu lingkungan
dimana komunikasi itu terjadi serta untuk tujuan apa komunikator menyampaikan
sesuatu.
2.
Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Model
Komunikasi Shannon Weaver
Tahun
1949, Claude Shannon dan Warren Weaver mengenalkan
model komunikasi matematis yang membuat referensi dasar bagi organisasi
teknologi komunikasi. Seorang pembicara atau komunikator memilih sebuah pesan
yang diinginkan dari seluruh pesan-pesan yang mungkin. Pesan yang dikirmkan
melalui sebuah saluran komunikasi dan diubah ke dalam sinyal-sinyal (pesan).
Penerima
pesan atau komunikate menerima sinyal-sinyal. Dalam proses transmisi, beberapa
distorsi dapat ditambahkan yang bukan merupakan bagian dari pesan dikirimkan
oleh sumber atau komunikator. Hal ini disebut dengan noise atau
gangguan.
3.
Model Komunikasi Newcomb ABX
Model
Komunikasi Newcombs
Model
komunikasi Newcombs dikembangkan oleh Theodore M. Newcombs pada
tahun 1953 yang merupakan pendekatan sosial baru dalam bidang komunikasi yang
disebut dengan sistem ABX. Melalui model ini, Newcombs memberikan pendekatan
yang berbeda dalam proses komunikasi.
Tujuan
utama dari model ini adalah untuk mengenalkan peran komunikasi dalam sebuah
hubungan sosial dan untuk mengelola keseimbangan sosial dalam sebuah sistem
sosial.
Newcombs
tidak menyertakan pesan sebagai sebuah entitas yang terpisah dalam modelnya. Ia
hanya menggunakan gambar tanda panah. Ia fokus pada tujuan sosial komunikasi,
memperlihatkan seluruh komunikasi sebagai sebuah hubungan yang terjadi di
antara individu.
Model
komunikasi Newcombs beroperasi dalam bentuk triangular atau sistem ABX, yaitu A
sebagai sender atau komunikator, B sebagai penerima pesan, dan
X sebagai hal yang menjadi fokus perhatian. Model komunikasi massa ABX atau
model komunikasi massa Newcombs mensyaratkan bahwa A berkomunikasi dengan B
tentang sebuah topik, yaitu topik C. Orientasi dan sikap A dan B ditentukan
tidak hanya oleh C, tetapi juga dengan hubungan antara A dan C.
Perlu
dipahami bahwa C mungkin saja dapat berupa fakta, obyek, atau orang yang
merupakan subyek komunikasi antara A dan B. Hal ini berarti bahwa jika individu
B atau receiver secara positif menerima C,
keterlibatannya dalam proses komunikasi akan sama dengan keterlibatan A dengan
C, sebagaimana kasus sebelum proses komunikasi dimulai. Dalam gambar, tanda
panah mengindikasikan sikap.
4.
Model Komunikasi Westley dan MacLean
Model
Komunikasi Westley dan MacLean
Model
ini merupakan model komunikasi yang sangat berpengaruh yang dikembangkan dengan
tujuan menata temuan-temuan yang hasil penelitian yang ada dan menyediakan
sebuah perlakuan sistematis yang secara khusus sesuai bagi penelitian
komunikasi massa. Model ini dikenalkan oleh Bruce Westley dan Malcolm
S. MacLean, Jr (1957) diadaptasi dari model komunikasi Newcomb. Model
ini dapat dilihat dalam dua konteks komunikasi, yaitu komunikasi interpersonal
atau komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa.
Poin
penting perbedaan antara komunikasi interpersonal dan komunikasi massa adalah
terletak pada umpan balik. Dalam komunikasi interpersonal umpan balik bersifat
langsung dan cepat. Sedangkan dalam komunikasi massa, umpan balik bersifat
tidak langsung dan tertunda atau lambat.
Menurut
Westley dan MacLean, komunikasi tidak akan terjadi ketika satu orang saja yang
bicara melainkan ketika seseorang memberikan respon secara elektif terhadap
sekitar mereka. Model ini menekankan pada hubungan yang kuat antara tanggapan
dari lingkungan sekitar dan proses komunikasi. Komunikasi dimulai hanya ketika
seorang individu menerima pesan dari lingkungan sekitar. Setiap penerima pesan
merespon pesan yang mereka terima berdasarkan orientasi obyek mereka.
5.
Model Komunikasi De Fleur
Model
Komunikasi De Fleur
Model
sistem komunikasi massa dikembangkan oleh Melvin L. De Fleurpada
tahun 1966. Model ini merupakan pengembangan dari model komunikasi matematis
Shannon dan Weaver dan didasarkan juga pada model komunikasi Westley dan
MacLean yang menggambarkan proses komunikasi sirkuler dengan adanya umpan balik
dari receiver. Model komunikasi Shannon dan Weaver merupakan model
komunikasi satu arah dan mereka menjelaskan peran gangguan atau noise dalam
proses komunikasi.
Sementara
itu, model komunikasi Westley dan Maclean merupakan model komunikasi dua arah
dan untuk pertama kalinya mereka mengenalkan satu komponen penting yang disebut
dengan umpan balik linear dalam model komunikasi. De Fleur telah
mengkombinasikan kedua model komunikasi ini dan menciptakan model komunikasi
baru yang disebut dengan Model Komunikasi De Fleur.
De
Fleur mengembangkan model komunikasi Shannon dan Weaver dengan memasukkan alat
media massa dan menyatakan bahwa proses komunikasi adalah sirkuler karena
adanya dua umpan balik yang mungkin terjadi. Dalam seluruh proses komunikasi,
gangguan atau noise dapat terjadi pada setiap tahapan. De
Fleur menggambarkan sumber, transmitter, receiver,
dan destinationsebagai tahapan komunikasi massa yang terpisah.
Hal
lainnya yang penting adalah adanyal alat umpan balik yang membantu menganalisa
khalayak target. Di sini, seluruh receiver bukanlah khalayak
sasaran karena khalayak sasaran akan membuat semacam umpan balik yang akan
membantu menemukan khalayak saasaran dengan menggunakan alat umpan balik. Satu
aspek penting lainnya adalah bahwa proses komunikasi berlangsung secara dua
arah. Model komunikasi ini juga merupakan model pertama yang mengenalkan umpan
balik dua arah dan khalayak sasaran dalam proses komunikasi.
6.
Model Komunikasi Gerbner
Model
Komunikasi Gerbner
Model
komunikasi Gerbner adalah model komunikasi yang dikembangkan oleh George
Gerbner pada tahun 1956 yang merupakan seorang pelopor dalam bidang
penelitian komunikasi. Melalui model ini, Gerbner menekankan pada sifat dinamis
komunikasi dan faktor-faktor yang memberi dampak pada reliabilitas komunikasi,
yaitu dimensi persepsi dan dimensi makna serta kendali.
a.
Dimensi persepsi
E
adalah sebuah kejadian dalam kehidupan dan isi kejadian atau isi pesan
dilambangkan dengan M. Setelah dirasakan, pesan dari E oleh M dikenal sebagai
E1 yang tidak sama dengan E karena beberapa orang atau mesin tidak dapat
merasakan seluruh kejadian dan mereka rasakan hanya bagian dari E1 yang disebut
dengan dimensi perseptual.
Terdapat
3 faktor yang terlibat antara E dan M, yaitu seleksi, konteks, dan
ketersediaan.
·
M
atau manusia atau mesin tidak dapat merasakan keseluruhan isi dari kejadian E.
Untuk itu, M kemudian menyeleksi isi yang menarik atau dibutuhkan dari
keseluruhan kejadian dan menyaringnya.
·
Konteks
terjadi dalam suatu kejadian.
·
Ketersediaan
didasarkan pada sikap M, budaya, mood, dan kepribadiaan.
b.
Dimensi makna dan kendali
E2
adalah sebuah isi kejadian yang digambarkan atau dibentuk oleh M. Di sini, M
menjadi sumber pesan tentang E untuk dikirimkan kepada orang lain. M membuat
sebuah pernyataan atau sinyal tentang pesan yang disebut Gerbner dengan istilah
bentuk dan isi sebagai SE2. S merujuk pada sinyal atau bentuk dan E2 merujuk
pada Isi. Di sini, isi E2 dibentuk (S) oleh M dan dapat dikomunikasikan ke
dalam berbagai macam cara.
M
menggunakan channel atau media untuk mengirimkan pesan yang
telah dikendalikan. Istilah kendali merujuk pada derajat keterampilan yang
dimiliki oleh M dalam menggunakan saluran komunikasi. Jika menggunakan saluran
komunikasi verbal bagaimana ia menggunakan kata-kata? Jika ia menggunakan
internet sebagai alat komunikasi, seberapa baik ia menggunakan teknologi baru
dan kata-kata? Proses ini dapat dikembangkan dengan menambah penerima pesan
yang memiliki persepsi lebih jauh terhadap pernyataan tentang kejadian yang
dirasakan.
7.
Model Komunikasi Riley dan Riley
Model
Komunikasi Riley dan Riley
John
W. Riley dan Mathilda
White Riley mengembangkan sebuah model untuk menggambarkan implikasi
sosiologis dalam komunikasi. Mereka mendiskusikan gagasan mereka tentang teori
komunikasi dalam sebuah artikel berjudul Mass Communication and the
Social System. Dasar ide mereka terletak pada hasil kerja Aristoteles dan
Lasswell yang menekankan pada pentingnya pandangan sosiologis dalam komunikasi.
Dalam
model komunikasi Riley dan Riley, terdapat 2 (dua) komponen utama yaitu
komunikator dan komunikate atau receiver yang masing-masing
merupakan struktur sosial yang lebih luas. Dalam struktur sosial pertama
terdiri dari komunikator, kelompok primer a1 dan a2. Sementara itu, dalam
struktur sosial 2 terdiri dari komunikate atau receiver, kelompok
promer b1 dan b2. Baik kelompok sosial 1 maupun kelompok sosial 2 berada dalam
sebuah sistem sosial.
Kelompok
utama atau kelompok primer adalah kelompok yang dibedakan dengan tingkat
kedekatan mislanya teman. Selain kelompok primer, terdapat pula kelompok
sekunder yang dikenal sebagai kelompok referensi yang tidak membagi hubungan
kedekatannya dengan komunikator ataupun komunikate atau receiver melainkan
memberika pengaruh dalam proses komunikasi.
Melalui
model dapat kita lihat bahwa komunikator mengirimkan sebuah pesan dengan
kesepakatan untuk pengharapan kelompok dan orang lain dalam suatu sistem
sosial yang lebih luas. Komunikator adalah sebuah bagian dari suatu struktur
sosial yang lebih luas dan kelompok disebut dengan kelompok primer. Dengan kata
lain, komunikator dipengaruhi oleh kelompok primer.
Penerima
pesan atau receiver juga beroperasi seperti komunikator yang
juga dipengaruhi oleh kelompok lain dalam suatu sistem sosial yang lebih
kuas. Receiver menerima umpan balik yang didasarkan pada
pesan-pesan yang dikirimkan oleh komunikator dalam kelompok primernya. Kemudian
mengirimkan umpan balik kepada komunikator untuk mengatasi beberapa isu atau
masalah.
Model
komunikasi ini secara jelas mengilustrasikan komunikasi sebagai proposisi dua
arah, komunikator dan recipient saling tergantung satu sama lain
dan terhubung satu sama lain dengan adanya mekanisme umpan balik, komunikator
dan penerima pean adalah bagian dari konteks sosial yang lebih luas dan tidak
bertindak dalam ruang isoalsi.
8.
Model Komunikasi Maletzke
Model
Komunikasi Maletzke
Model
komunikasi massa atau model media massa Maletzke dikenalkan oleh Gerhard
Maletzke pada tahun 1963. Model komunikasi massa Maletzke begitu
kompleks dan memiliki beberapa komponen umum sebagaimana model komunikasi
lainnya yaitu komunikator atau communicator, pesan atau message, media,
dan penerima pesan ataureceiver.
Pesan
menjangkau penerima pesan secara tidak langsung, media mengubah pengalaman dan
persepsi penerima pesan. Pesan bermedia adalah sebuah pesan yang dimodifikasi.
Penerima pesan menyeleksi berbagai pesan yang penting baginya. Kualitas dan
metode penyeleksian pesan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
kepribadian receiver, pengalaman, perkembangan, minat,
inteligensia, pandangan, kebiasaan, adat sistiadat, dan citra diri. Maletzke
juga menyebut paksaan pesan, paksaan sedang, dan paksaan publik. Paksaan
berkaitan dengan pola perilaku dan persepsi tertentu yang disebabkan oleh
advokasi oleh pesan, media, atau opini publik.
9.
Model Komunikasi Hiebert, Ungurait, Bohn (Model Komunikasi HUB)
Model
Komunikasi HUB
Model
komunikasi HUB dikenalkan oleh Ray Eldon Hiebert, Donald F.
Ungurait, dan Thomas W. Bohn. Dalam model ini,
komunikasi digambarkan sebagai seperangkat atau sekumpulan lingkaran yang
membentuk seperti gelombang. Isi komunikasi digambarkan sebagai kelereng yang
dilemparkan ke air dan menyebabkan terjadinya riak yang kemudian menjadi
lingkaran yang lebih besar hingga mereka menyentuh pantai atau khalayak dan
diberi umpan balik.
Gagasan
ide ini adalah isi atau konten berjalan melalui sekumpulan tindakan atau aksi
dan reaksi dari hubungan manusia. Perhatian pertama diberikan kepada
pengembangan konten.
Manfaat
Mempelajari Model-model Komunikasi Massa
Mempelajari
model-model komunikasi massa tentunya dapat memberikan manfaat kepada siapapun
yang tertarik mempelajari serta mendalami ilmu komunikasi khususnya komunikasi
massa. Manfaat yang dapat kita peroleh adalah
·
kita
menjadi memahami berbagai model komunikasi yang telah kita kenal selama ini
sebagai model dasar komunikasi massa.
·
kita
menjadi memahami model-model komunikasi massa menurut ahli.
Demikianlah
ulasan singkat tentang model-model komunikasi massa. Semoga dapat menambah
wawasan dan pengetahuan kita tentang berbagai model komunikasi massa beserta
penjelasan singkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar