SEJARAH
KOMUNIKASI POLITIK SECARA GLOBAL DAN INDONESIA
Oleh :
Andry Ramadhan
Abstract
The political culture of a society reflect a pattern of behavior in the
life of the state, but because of the political culture also may reflect a
common value system of a society which has the awareness to participate in
collective decision making and determination of public policy for the whole
community.
From the comparison of the political culture in the developed and
developing countries (United States, China and Indonesia), it has a distinctive
political culture and identity as a feature of the country. Each country seeks
to transform towards democratic politics by using a political culture that is
rooted in the community, so that these countries achieve what is aspired to
national interests.
In the context of this comparison, Indonesia can be
said to approach the development of a democratic political culture of the
United States and China. Indonesia has implemented democratic elections and has
implemented presidential election through the national convention. Thus,
Indonesia certainly has a relatively advanced political culture and want to
learn at every stages toward democracy.
Keyword: comparison; democracy;
state
Pendahuluan
Budaya politik
selalu menjadi salah satu tema ilmu politik yang sangat menarik dan tidak
pernah habis-habisnya untuk dikaji, bukan saja karena budaya politik
merefleksikan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, namun
karena budaya politik juga dapat mencerminkan suatu sistem nilai bersama suatu
masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Dalam era globalisasi, budaya politik dalam suatu negara seringkali ambivalen
dan cenderung mencair. Globalisasi juga mendorong masyarakat dunia lebih
perhatian terhadap kultur masyarakat lainnya, maupun berbagai aspek perbedaan budaya.
Banyak
ahli berpendapat bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh sikap dan budaya
rakyat atau warga negaranya yang terbiasa berperilaku demokratis, kritis dan
partisipatif. Hal ini merupakan salah satu indikator determinasi di mana suatu
negara dapat dikatakan negara demokratis. Perilaku demokratis merupakan
pencerminan dari budaya politik nasional atau negara. Suatu masyarakat
membutuhkan
budaya politik yang kuat agar dapat memajukan stabilitas negara.
Budaya politik mengacu pada
keseluruhan pengetahuan, sikap emosional dan penilaian etika moral yang
berkaitan dengan isu-isu politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sikap
dan tingkah laku inilah menjadi suatu objek penanda gejala-gejala politik yang
akan terjadi di dalam sistem politik. Konsep budaya politik lazimnya dikaitkan
dengan konsep negara atau budaya-budaya nasional. Dalam hal ini, budaya politik
merupakan perwujudan kembali konsep lama yang disebut dengan karakter nasional
yang berisi serangkaian keyakinan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang
melatarbelakangi suatu kondisi dimana terjadi peristiwa politik. Schirato &
Yell mendefinisikan budaya sebagai ‘both
a knowledge of meaning systems and an
ability to negotiate those systems within different cultural contexts’.
Pengertian ‘meaning systems’ adalah policies, contexts, discourses, ideas,
ideologies, belief systems, traditions, narratives. .(David Birch, Tony Schirato and Sanjay Srivastava, Asia: Cultural
Politics in the Global Age )
Dalam setiap
masyarakat, terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan mengenai
proses politik yang berlangsung di lingkungan internal. Tingkat kesadaran dan
partisipasi masyarakat
menjadi hal penting untuk
mengukur kemajuan budaya politik yang sedang
berkembang. Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan
ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik mencakup masalah legitimasi,
pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintahan, kegiatan partai-
partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap
kekuasaan yang memerintah. Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang
menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Pemilihan umum
(Pemilu) dan komunikasi politik merupakan salah satu parameter dalam melihat
bagaimana budaya politik yang berjalan di suatu negara. Pemilu adalah proses
pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilu
merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif. Semua
fungsi yang dijalankan oleh sistem politik tersebut pada dasarnya dilaksanakan
melalui sarana komunikasi. Komunikasi politik menyambungkan antar semua bagian
dari sistem politik, sehingga sistem politik itu bisa berjalan dengan baik.
Oleh karenanya, komunikasi politik merupakan faktor pendukung dalam penentuan
budaya politik suatu negara.
Selain itu,
pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga
negara. Partisipasi politik seyogyanya merupakan bagian dari budaya politik
karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat seperti partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa. Dalam
penulisan ini, akan dibahas mengenai budaya politik negara maju dan negara
berkembang termasuk budaya politik di Indonesia, sehingga akan terlihat
perbedaan dan persamaan yang dilihat melalui perbandingan politik. Dalam
penulisan ini, akan dikaji budaya politik di negara maju dan negara berkembang
sehingga akan dapat dilihat perbandingan dari budaya politiknya.
Perbandingan Budaya Politik
Budaya politik
adalah orientasi masyarakat terhadap suatu sistem politik. Budaya politik lebih
merupakan sifat atau karakter berpolitik yang berkembang dalam masyarakat
dengan seperangkat objek dan
proses sosial yang bersifat
khusus. Budaya politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan
bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum,
adat istiadat, serta norma kebiasaan yang dihayati oleh sejumlah anggota
masyarakat di dalam kehidupannya.
Menurut
Gabriel Almond dan Sidney Verba, budaya politik adalah suatu sikap orientasi
yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dengan aneka ragam
bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik
tersebut. Dengan kata lain, berbagai negara mempunyai pola keyakinan,
nilai-nilai dan sikap politik yang sangat berbeda dan didalam negara-negara
tersebut elemen- elemen budaya politik terbentuk oleh pengalaman hidup,
pendidikan, dan kelas sosial.1 Selain itu, mereka juga menyebutkan
juga bahwa budaya politik sebagai keyakinan, sikap, nilai, ide, sentimen, dan
evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negara dan peran dari
masing-masing individu. (Larry Diamond, Developing
Democracy: Toward Consolidation )
Almond dan
Verba membagi orientasi budaya politik menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Orientasi Kognitif (cognitive
orientation), merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik,
peran, dan segala kewajibannya, termasuk pengetahuan mengenai
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
2.
Orientasi Afektif (affective
orientation), merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan
perannya, serta para aktor dan penampilannya. Sebagai bentuk aplikasinya yaitu
perasaan masyarakat untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
3.
Orientasi Evaluatif (evaluation
orientation), merupakan keputusan dan pendapat masyrakat tentang objek-objek politik yang secara tipikal
melibatkan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria
informasi dan perasaan yang mereka miliki.
Dari
ketiga tersebut di atas, terdapat kausalitas berlangsung dua arah yaitu sikap
mempengaruhi struktur dan perilaku dan
struktur dan kinerja mempengaruhi
sikap. Sehingga, budaya politik mempengaruhi struktur dan kinerja pemerintah.
Dengan demikian, ketiga orientasi tersebut menunjukkan bahwa budaya politik
cukup lentur dan dapat berubah secara dramatis sebagai respon terhadap kinerja
rezim, pengalaman sejarah dan sosialisasi politik.
Di samping
itu, Almond dan Verba juga mengindentifikasi tiga objek yang dituju dalam
orientasi politik yaitu: (1) Peran atau struktur dari sebuah institusi politik;
(2) Aktor, yaitu para pemegang jabatan dari sebuah institusi negara; dan (3)
Produk, yaitu kebijakan, keputusan dan penguatan keputusan yang dibuat oleh
para aktor di dalam negara.
Dimensi-dimensi
yang menjadi ukuran dalam menentukan budaya politik suatu masyarakat, yaitu:
(1) Tingkat pengetahuan umum masyarakat mengenai sistem politik negaranya; (2)
Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat
kebijakan; (3) Pemahaman masyarakat mengenai penguatan kebijakan; dan (4)
Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan bernegara, serta sejauh
mana pemahamannya mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Almond dan
Verba juga mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan yaitu:
1.
Budaya Politik Parokial, yang memiliki ciri-ciri:
a.
Frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi penentu budaya politik
mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali.
b.
Tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus.
c.
Peran-peran pemimpin
masyarakatnya sangat berperan baik dalam bidang politik, ekonomi dan keagamaan.
d.
Partisipasi masyarakat sangat bergantung pada pemimpinnya.
2.
Budaya Politik Subjek, yang memiliki ciri-ciri:
a.
Frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik
secara umum dan objek output atau
pemahaman mengenai penguatan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
b.
Pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan.
c.
Masyarakat sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem politik.
3.
Budaya Politik Partisipan, yang memiliki ciri-ciri:
a.
Masyarakat sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai penentu budaya politik.
b.
Masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik
secara umum tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan.
c.
Berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung.
d.
Masyarakat sudah ikut terlibat dalam sistem politik pemerintahan.
Gabriel
Almond, Sidney Verba, Seymour Martin Lipset, Robert Dahl dan Alex Inkeles
mengidentifikasi orientasi- orientasi dalam budaya politik diperlukan oleh
pengembangan dan pemeliharaan demokrasi, untuk menanggulangi salah satu dilema
sentral demokrasi, yaitu menyeimbangi perpecahan dan konflik dengan kebutuhan
akan konsensus. ( Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation,)
Sementara Lucien Pye menyatakan bahwa gagasan tentang budaya politik
adalah sikap-sikap, sentimen- sentimen dan kognisi-kognisi yang mengungkapkan
dan mengatur perilaku politik dalam
suatu masyarakat di mana pola-pola yang koheren saling menguatkan satu sama
lain.
Larry Diamond
menyatakan bahwa budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide, sentimendan evaluasi suatu
masyarakat tentang sistem politik negara mereka dan peran masing-masing
individu dalam sistem itu. Sementara itu, Samuel Beer menyatakan bahwa budaya
politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana
pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Berdasarkan
beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik batasan konseptual
tentang budaya politik sebagai berikut: pertama, secara umum budaya politik dibagi
atas budaya politik apatis, budaya politik mobilisasi dan budaya politik
partisipatif. Kedua, bahwa konsep budaya politik lebih mengedepakan aspek-aspek
non-perilaku aktual seperti tindakan, tetapi
lebih menekankan pada berbagai perilaku non aktual seperti orientasi, sikap,
nilai dan kepercayaa. Ketiga, hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik
adalah sistem politik. Dan keempat, budaya politik merupakan deskripsi
konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam jumlah besar atau masyarakat.
Budaya Politik di Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat masyarakatnya cenderung menganut budaya politik partisipan.
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek, di
Amerika Serikat individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya
sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat,
memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban
untuk, misalnya, membayar pajak.Dalam budaya politik partisipan, sering dan
merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga
tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka
pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes
ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka
pun banyak bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun
tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.
Amerika Serikat
merupakan negara federal dengan sistem presidensial dan pola pemerintahan
demokrasi konstitusional. Amerika Serikat Demokrasi Amerika Serikat merupakan
demokrasi yang stabil (lebih baik) dari beberapa negara di dunia. Pemerintahan
federal di Amerika Serikat merupakan persekutuan di mana negara pusat dan
negara bagian berbagi kekuasaan dan setiap negara berhak mengatur sendiri
pemerintahan negaranya. Di Amerika Serikat terdapat tiga cabang kekuasaan yang
otonom
dan independen yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Di dalam
legislatif terdapat dua badan yang sederajat yaitu Senat merupakan wakil dari
negara bagian yang dipilih oleh negara bagian dengan masa jabatan selama 6
tahun, dan House of Representative (DPR) yang dipilih oleh rakyat secara
langsung dengan masa jabatan 2 tahun. Kedua badan legislatif ini berkumpul
dalam kongres dalam proses politik pemerintahan untuk menghasilkan keputusan
dengan perhitungan mayoritas adalah 50% + 1 (2/3 dari kongres).
Dalam kekuasaan
ekskutif, presiden mempunyai hak otonom dan independen yang kuat sama seperti
legistatif dalam proses pembuatan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat.
Dan di yudukatif, negara federal mengharuskan konstitusi dalam melindungi
hak-hak negara bagian. Konstitusi Amerika Serikat menetapkan amandemen dapat
disahkan dengan dukungan ¾ dari semua legislatif negara bagian serta 2/3
kongres Amerika Serikat.
Budaya politik
di Amerika Serikat masyarakatnya memiliki kecenderungan menganut budaya politik
partisipan. Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi
tingkatannya ketimbang budaya politik subjek. Di Amerika Serikat, setiap
individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang mempunyai sejumlah hak
dan kewajiban. Di samping itu, individu- individu tersebut dapat mempengaruhi
jalannya perpolitikan negara.
Dalam sejarah
politik di Amerika Serikat, sistem pemilihan Simple-Plurality (SP) dari distrik yang tunggal terlihat lebih
menonjol tetapi tidak ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini,
terdapat tahapan sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat yaitu:
1. Nominasi.
Nominasi adalah dukungan resmi partai politik kepada calon presiden.
Terdapat dua model nominasi yaitu pertama, sistem Caucus yang memberi
legitimasi bagi elit-elit partai dan kedua, Primary
Election merupakan tahapan melalui pemilihan primary.
2. Konvensi Nasional.
Konvensi nasional merupakan
tahapan akhir dari penentuan calon presiden dari partai. Pemenang dari konvensi
ini adalah pemenang mutlak sebagai presiden.
3. Pemilihan Nasional.
Dalam pemilihan ini, terdapat dua
tahapan yaitu pertama, dilakukan oleh rakyat Amerika Serikat secara langsung
untuk mendapatkan suara populasi dan kedua, pemilihan presiden oleh para
pemilih.
Dalam konteks
budaya politik di Amerika Serikat, dapat dikatakan budaya politik demokratis di
mana budaya politik telah menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Di samping itu, masyarakat Amerika Serikat diarahkan untuk berperan
aktif dalam proses politik yang berlangsung dan hal ini sebagai perwujudan
budaya politik partisipan. Dari implementasi dan pencerminan budaya politik di
Amerika Serikat sejalan yang dikemukakan oleh Almond dan Verba di mana
partisipasi politik warga negaranya menjadi indikator penting untuk mewujudkan budaya politik yang
demokratis.
Budaya Politik di China ( Tionghoa )
China (Tionghoa
) berdasarkan Kepress nomor 12/2014 tentang penggantian istilah China menjadi
Tionghoa atau Tiongkok merupakan negara Asia Timur yang memiliki pertumbuhan
yang paling signifikan selama 30 tahun terakhir, baik dalam sektor ekonomi
maupun politiknya. Pertumbuhan dan perubahan yang terjadi di Tionghoa tersebut
tidak lepas dari dinamika kebijakan domestik yang diambil oleh pemerintah
Tionghoa . Keberhasilan pemerintah Tionghoa memilih kebijakan ekonomi dan
politik bagi negerinya mengantarkan tumbuh Tionghoa sebagai salah satu macan
Asia dan negara yang paling berpengaruh di dunia. Review ini akan membahas mengenai dinamika ekonomi dan politik
domestik Tionghoa dan bagaimana dinamika tersebut berhasil membuat China(
Tionghoa ) menjadi salah satu negara terkuat di Asia dan dunia.
China
(Tionghoa) saat ini merupakan negara sosialis-leninis yang pada awalnya
berbentuk Autoritarian. Budaya politik Tionghoa mengalami perkembangan dari
yang awalnya berupa Autoritarian menjadi
Anarki hingga kemudian menjadi
Totalitarian. Budaya politik autoritarian dimu Tionghoa lai ketika awalnya
daratan Tionghoa dikuasai oleh sebuah kekaisaran dimana terdapat kerajaan yang
menguasai sebuah dinasti yang mempunyai kekuatan dan legitimasi yang besar
dikarenakan ia dianggap sebagai “Son of
Heaven. Taoisme menjadi paham utama dalam kehidupan di Tionghoa saat itu,
dimana pemujaan terhadap kerajaan adalah sebuah tradisi yang selalu dilakukan.
Terdapat total 24 dinasti pada masa autoritarian , sebelum Tionghoa gempa
dahsyat kemudian menghancurkan Beijing pada tahun 1976 dan membuat kematian Mao
Zhedong menjadi tanda berakhirnya masa authoritarianisme-empire Tionghoa
Selanjutnya,
Confucianisme lahir menjadi sebuah filosofi yang mempengaruhi budaya politik .
Sistem imperealisme diterapkan dan penguasa baru dipilih berdasarkan seleksi
masyarakat atas beberapa kriteria seperti kompetensi, merit, dan
profesionalisme. Kandidat pemimpin imperial ini kemudian dipilih berdasarkan
kemampuan dan pengetahuannya atas ajaran Confucius. Hanya kandidat yang lolos provincial examination saja yang dapat
menjabat sebagai pejabat pemerintah terendah. Confucianism sebagai ideologi
negara pada masa itu dianggap lebih berpengaruh terhadap kebijakan politik
karen Tionghoa a Confucianism dapat disebut juga sebagai authoritarianism.
Keduanya sama-sama mementingkan legitimasi benar dan salah daripada anggapan
mengenai ’mandate of heaven’ seperti
yang dipergunakan oleh pemerintah pada masa sebelumnya. Pada
masa ini juga menjalin hubungan dengan orang asing (westerners) namun dengan cara
mengisolasi keberadaan mereka diwilayah pelabuhan.
Modernisasi
pertama kali diterapkan di Tionghoa pada masa pemimpin partai Nasionalis,
Chiang Kai-Shek menjadi pemimpin Tionghoa pada tahun 1927-1937. Tionghoa mulai
menggunakan politik komunisme semenjak tahun 1949, sistem politik Tionghoa ini
terpengaruh dari ajaran Marxisme dan Leninisme yang berbasiskan pada paham
sosialis. Hal ini membuat pemerintahan Tionghoa terpusat dan dipimpin oleh satu
partai politik nasional yakni Partai Komunis Tionghoa yang merupakan partai
tunggal dan amat
berpengaruh terhadap kehidupan perpolitikan Tionghoa . Partai Komunis Tionghoa
menjalankan pemerintahan Tionghoa dengan Presiden yang diangkat dari partai.
Presiden memiliki legitimasi yang tinggi dalam memimpin negara dan kebijakan
luar negerinya, disamping partai dan institusi
kenegaraan.
Daerah SAR
dikenal juga dengan daerah pembangunan ekonomi Tionghoa , dimana zona ekonomi
khusus merupakan salah satu strategi pembangunan Tionghoa di bidang ekonomi. Penerapan sistem
ini dimulai ketika Deng Xiaoping yang mengumumkan reformasi dan keterbukaan
akan investasi asing (gaige kaifang)
pada tahun 1970-an, berbeda dengan strategi ekonomi Tionghoa yang sebelumnya
mengikuti model substitusi impor yang bersifat protektif dan menarik diri dari
ekonomi global. Zona ekonomi khusus ini
memberikan perlakuan khusus bagi investor asing seperti pembebasan kewajiban
pajak, peniadaan dan pengurangan hambatan tarif sehingga negara dapat
berintegrasi dengan perekonomian global.
Pengembangan
zona ekonomi khusus merupakan salah satu kunci pendorong keberhasilan
pembangunan di Tionghoa . Pengembangan ZEK sendiri melibatkan hubungan anatara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang memiliki peranan berkontak
dengan pihak asing yang membuka investasi asing di daerah tersebut.
Pengembangan ZEK sendiri pertamakali diusulkan oleh pemerintah provinsi
Guangdong. Pada awalnya status ZEK hanya diberikan ke beberapa wilayah atau
daerah khusus seperti Guangdong dan Fujian, namun saat ini ZEK Tionghoa telah
berkembang ke banyak daerah dan hampir seluruh daerah Tionghoa kini merupakan
ZEK dan terbuka dengan investasi asing.
Pembentukan
ZEK sendiri memiliki sejarah yang unik, hal ini dikarenakan Tionghoa memiliki
hubungan antara pusat dan daerah yang berbeda dengan negara komunis lainnya,
berbeda dengan komunisme Lenin pada masa itu, komunisme Tionghoa lebih flexibel
dan bahkan dalam pemerintahan Mao Zedong, Tionghoa ditengarai pernah mengalami
gelombang desentralisasi sebanyak 2 kali. Walaupun Tionghoa memiliki sistem kontrol birokrasi terpusat ala
sosialis, namun
pemerintah Tionghoa memberikan kebebasan pada daerahnya untuk menentukan
kontrol sosial dan investasi terhadap asing, walaupun tetap dibawah kontrol
pusat. Hal ini berarti apabila pusat tidak menghendaki sebuah kebijakan daerah
maka daerah tersebut wajib untuk mematuhi aturan pusat.
Hubungan
pusat daerah di Tionghoa adalah kunci dari pembangunan ekonomi Tionghoa ,
dimana pada tahun 1949-1978 Mao Zedong mengumumkan 2 kali gelombang desentralisasi yakni pada masa kampanye Lompatan
Jauh Kedepan (1945- 1957) dan Kampanye Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Dalam
kampanye ini Mao mengkritik pemerintah Uni Soviet yang terlalu membelenggu
daerahnya sehingga daerah tidak dapat berkembang. Pada masa pasca tahun 1978,
perkembangan pusat- daerah di Tionghoa menjadi semakin dinamis dengan mekanisme
pasar untuk menjalankan proses produksi. Peran pemerintah pusat dalam mengatur
industri daerah dikurangi meskipun kontrol pemerintah pusat akan daerah tetap
absolut, seperti Benzinki dan Huntington yang menyebutkan kewenangan
daerah ini sebagai ’pinjaman pusat’yang
dapat dikembalikan sewaktu-waktu.
Adaptasi lokal
merupakan hal yang penting, dan pemerintah Tionghoa membangunnya secara gradual
dan bertahap. Awalnya dari beberapa provinsi hingga kemudian menyebar ke hampir
seluruh daerah di Tionghoa , awalnya hanya provinsi yang mendapatkan desentralisasi
dalam pengaturan fiskal, keputusan investasi, dan hubungan ekonomi luar negeri,
namun gelombang desentralisasi berkembang hingga tingkat kota. Beijing, Tianjin
dan Shanghai adalah 3 kota penyumbang terbesar untuk pusat. Pusat sendiri
mendapatkan 42% dari pendapatan ZEK dan jumlahnya ditetapkan selama 4 tahun
menurut Konferensi Kerja (Guongzuo Huiyi). Perubahan akhir terjadi pada 1992
dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping, dimana Deng merasakan perlunya pengembangan
liberalisasi ekonomi yang lebih luas, pusat kemudian melebarkan arus
desentralisasi hingga perfektur dan kabupaten, sehingga modernisasi industri
dapat masuk kedalam seluruh bagian Tionghoa walaupun pada dasarnya
Tionghoa
tetap merupakan negara sosialis- komunis.
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan Tionghoa terjadi dengan sangat
dinamis dan gradual, baik dalam sektor ekonomi maupun politiknya. Tionghoa
sendiri masih merupakan negara komunis-sosialis, namun tidak seperti negara
komunis lainnya, Tionghoa masih terbuka dan lebih fleksibel dalam menjalankan
negaranya. Komunisme dilihat dari peran totalitarian pusat Tionghoa yang masih
mendominasi dan absolut, namun daerah ZEK dan SAR memiliki kesempatan akan
otonomi yang diberikan dibawah totalitarianisme Tionghoa. Hal inilah yang
kemudian membangun dan merubah Tionghoa menjadi negara yang maju dengan tingkat
ekonomi yang sangat tinggi. Menurut pendapat penulis, keadaan perekonomian
Tionghoa merupakan hal yang unik dan menarik, namun brilian di satu sisi.
Hal yang membedakan sistim sosialis Tionghoa dengan negara lain
seperti Rusia adalah keterbukaan negara cina terhadap dinamika eksternal
terutama pada aspek ekonomi,sehingga dapat di katakan bahwa saat ini
Tionghoa mempunyai kecenderungan menerima
sistim kapitalis di negaranya.
Budaya Politik di Indonesia
Masyarakat
Indonesia sangat heterogen. Heterogenitas bangsa Indonesia tidak dalam arti
budaya saja melainkan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap budaya
politik bangsanya. Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau
budaya subnasional yang dibawa oleh pelaku-pelaku politik hingga terjadi
Interaksi, kerja sama dan persaingan antar-subbudaya politik itu. Interaksi dan
pertemuan-pertemuan antar subbudaya itu melatarbelakangi tingkah laku para
aktor politik yang terlibat dalam pentas panggung politik nasional.
Kebudayaan
politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku
politik yang majemuk. Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini
sejak awal kemerdekaannya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di
Indonesia karena kemajemukan
masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan
musyawarah mufakat berusaha untuk
mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik.
Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang
kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia
masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi
yang murni.
Menurut
Rusadi, budaya politik Indonesia hingga dewasa ini belum banyak mengalami
perubahan, pergeseran dan perpindahan yang berarti. Walaupun sistem politiknya
sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal.
Misalnya sistem politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin
dan ke sistem politik demokrasi pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam
sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Terdapat tipe-tipe budaya
politik yang Berkembang di Indonesia. Berikut adalah pembagian tipe-tipe
politik yang lebih didasarkan pada gaya berplitik yang berkembang di Indonesia
yaitu:
1. Budaya politik tradisional.
Budaya politik tradisional merupakan budaya politik yang memprioritaskan satu
budaya dari etnis tertentu. Sebagai contoh, ketika Soeharto memimpin negeri
kita selama lebih dari 3 dekade, masyarakat etnis Jawa cukup mendominasi
pusat-pusat kekuasaan penting.
2. Budaya politik Islam. Budaya
politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada
keyakinan dan nilai agama Islam. Biasanya kelompok santri mempelopori budaya
politik ini.
3. Budaya politik modern.
Budaya politik modern adalah budaya politik yang lebih bersifat netral tanpa
mendasarkan pada budaya atau agama tertentu. Budaya politik ini dikembangkan
pada masa pemerintahan Orde Baru yang bertujuan untuk stabilitas keamanan dan kemajuan.
Selain itu,
ada tiga ciri tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu:
(1) Hirarki yang tegas atau
ketat, yaitu adanya pemilihan tegas
antara penguasa
dengan rakyat; (2) Kecerendungan Patronage, yaitu hubungan antara orang
berkuasa dengan rakyat biasa; (3)
Kecenderungan Neo-patrimonialistik, yaitu perilaku negara masih memperlihatkan
tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Indonesia
menganut budaya politik yang bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya
politik partisipan di pihak lain.Sikap ikatan primodalisme masih sangat
mengakar dalam masyarakat Indonesia dan jugamasih kuatnya paternalisme dalam
budaya politik Indonesia.
Gejala budaya
politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagai contoh adalah sejak
reformasi tahun 1998. Kesadaran politik masyarakat Indonesia meningkat cukup
tajam, sebagai contohnya adalah demonstrasi mahasiswa, buruh, atau masyarakat
sipil. Pada masa kepemimpinan Soeharto atau era Orde Baru, demonstrasi tidak
diperbolehkan karena dianggap mengganggu stabilitas keamanan. Tetapi saat ini,
demonstrasi tidak dilarang karena merupakan hak rakyat untuk menyampaikan
aspirasinya kepada pemimpin.
Ditambah
lagi, di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak
terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya
politik Neo Patrimonialistik adalah: (1) Proyek di pegang pejabat; (2) Promosi
jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti); (3) Anak pejabat
menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan
perlakuan istimewa; dan (4) Anak pejabat memegang posisi strategis baik di
pemerintahan maupun politik.
Di era
reformasi sekarang ini sistem politik Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup bagus dan lebih demokratis dalam melibatkan partisipan dalam berbagai
macam kegiatan politik seperti pemilu langsung untuk memilih wakil rakyat.
Dalam
pembentukan budaya politik budaya politik nasional, terdapat beberapa unsur
yang berpengaruh, yaitu sebagai berikut: (1) unsur subbudaya politik yang
berbentuk budaya politik asal; (2) aneka rupa subbudaya politik yang berasal
dari luar
lingkungan tempat budaya politik
asal itu berada; dan (3) budaya politik nasional itu sendiri.
Lebih jauh
lagi pertumbuhan politik nasional dapat dibagi dalam beberapa tahap:
(1) Berlakunya politik nasional
yang sedang berada dalam proses pembentukannya; (2) budaya politik nasional
yang tengah mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik
nasional pada dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang; dan (3)
budaya politik nasional yang sudah mapan yaitu budaya politik yang telah diakui
keberadaannya secara nasional.
Budaya politik
yang berkembang di Indonesia adalah budaya politik campuran, artinya gabungan
dari ketiga tipe budaya politik di atas. Hal ini disebabkan karena adanya
beberapa ciri dari masyarakat Indonesia seperti adanya sub-budaya yang beraneka
ragam, dan karena Indonesia memiliki budaya sendiri sendiri. Selain itu
kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih kuat ikatan primordial yang
dikenali melalui indikator berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan.
Nazaruddin
Syamsuddin menyatakan dalam sebuah budaya ciri utama yang menjadi identitas
adalah sesuatu nilai atau orientasi yang menonjol dan diakui oleh masyarakat atau
bangsa secara keseluruhan. Jadi simbol yang selama ini telah diakui dan dikenal
masyarakat adalah Bhinneka Tunggal Ika, maka budaya politik kita di Indonesia
adakah Bhinneka Tunggal Ika.
Penutup
Budaya politik
merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat
istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat
setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai
bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Dari
perbandingan budaya politik di negara maju dan negara berkembang (Amerika
Serikat, Tionghoa /China dan Indonesia), ternyata memiliki budaya politik yang
khas sebagai ciri dan identitas negara.
Masing-masing negara berupaya
ber- transformasi menuju politik yang demokratis dengan menggunakan budaya
politik yang sudah mengakar di dalam masyarakat, sehingga negara-negara
tersebut mencapai apa yang dicita-citakan untuk kepentingan nasional.
Dalam konteks
perbandingan ini, Indonesia dapat dikatakan akan mendekati perkembangan budaya
politik demokratis Amerika Serikat dan China/ Tionghoa. Indonesia sudah
menerapkan pemilu yang demokratis dan sudah menerapkan pemilihan calon presiden melalui konvensi
nasional. Dengan demikian, Indonesia dipastikan memiliki budaya politik yang
relatif maju dan ingin belajar di setiap tahapan-tahapan menuju negara demokrasi.
Daftar Pustaka
Gabriel A.
Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik,
2001, Rajawali Press, Jakarta.
Harjanto, N.T. Budi,1998, Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi,
Tiara Wacana, Yogyakarta
Herbert Victor Wiseman,
1966, Political Systems: Some
Sociological Approaches, Routledge, london.
Ichsanul Amal
& Budi Winarno, 1998, Metodologi Ilmu
Politik, UGM, Yogyakarta.
Jagdish Chandra Johari,2008,
Comparative Politics, 8th Edition,
Sterling Publishers Private Limited, New Delhi
Larry Diamond, 2003, Developing Democracy: Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta
M.G. Kweit & R.W. Kweit,
1986 Konsep dan Metode Analisa Politik,
Bina Aksara, Jakarta
Mary Hawkesworth and Maurice
Kogan, 1992Encyclopedia of Government and
Politics, Routledge, London
Michael Rush
dan Phillip Althoff, 3003,Pengantar
Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta
Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics: The Search
for a Paradigm, Westview Press, Colorado.
Sahat Simamora (Ed), 1983 Beberapa Aspek Pembangunan Politik,
Rajawali, Jakarta.
Jean Blondel
and Takashi Inoguchi, 2006, Political
Cultures in Asia and Europe Citizens, states and societal values,
Routledge, Milthon.
David Birch,
Tony Schirato and Sanjay Srivastava, 2001, Asia
: Cultural Politics in the Global Age, Allen & Unwin, New South Wales
Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar